Jingkat langkahnya menyepak kasar serpihan salju yang menyisakan pijakan licin di atas pedestrian. Butuh alur ekstra pada sol sepatu, minimal untuk menyeimbangkan diri dan mematut langkah terkuat. Menghindari pertemuan antara tubuh dan kerasnya aspal jalanan.
Sesekali, bibir kebiruan itu menyumpah serapah pada lalu lalang manusia yang tak sengaja menyenggolnya. Dibesarkan di jalanan membuatnya berkawan akrab dengan aneka macam kata serapan hewan yang sengaja dimanusiakan. Mungkin setengah abad dari sekarang, saat usianya memasuki kepala tujuh, sebuah kamus kumpulan bahasa hewan terlengkap akan diterbitkan atas namanya.
"Damn! Where's your eyes?! You're little bastard!"
Lihat? Hanya desakan kecil-yang dipastikan tanpa unsur kesengajaan-membuat bocah berusia sekitar delapan tahun itu menggigil ketakutan. Paman yang tak sengaja ditabraknya memang tak memiliki sedikitpun belas kasihan.
Untuk apa? Jalanan juga tak pernah bersikap baik padanya.
"Get out of my way or i'll punch your face!"
Bocah kecil itu hanya bisa berlapang dada kala tubuh ringkihnya mencecap kerasnya dinding bata di sisi kanan pertokoan. Tak pernah ia duga bahwa paman tampan yang tak sengaja ditabraknya akan tega mengibaskan raga kecilnya dengan dorongan tangan-dengan cukup keras-yang bisa dipastikan akan menimbulkan bekas kebiruan keesokan harinya.
Setelah sedikit meringis kesakitan, si bocah kecil memutuskan lari sembari meyakinkan diri bahwa inilah terakhir kali ia menjejakkan kaki di jalanan ini.
Saat si bocah memacu langkah, pria tampan penuh sumpah serapah itu malah mendekatkan diri ke arah tong sampah yang masuk dalam jangkauan manik pekatnya. Tangan kurusnya mengorek kotak lusuh itu, berharap menemukan secuil sisa remahan manusia yang belum terciprat saliva.
Ia hanya sedang berusaha menemukan makanan untuk meredam perutnya yang kelaparan.
"Pergi dari sana, dasar gelandangan!"
Sontak, manik gelapnya membesar dan kalimat tak layak ucap kembali mengudara bersamaan dengan getaran pita suaranya. Kaki-kaki kurusnya dipaksa melangkah menjauh meskipun langkahnya sempoyongan disebabkan perutnya yang keroncongan.
Maklumi saja, sudah tiga hari asam lambungnya tak mencerna makanan barang seujung kuku.
Disinilah titik terendah yang harus dijalani jika menggantungkan hidup pada tiang-tiang penyokong jembatan. Hiruk-pikuk kota, cacian, makian, bahkan tak jarang ancaman akan kematian bagaikan lullaby yang menina-bobokan mereka. Bagi orang-orang seperti pria tampan ini, hal-hal seperti itu hanyalah seperti awan hitam yang akan segera menghilang ketika angin musim dingin menghembusnya.
Mereka hidup di jalanan dengan latar belakang berbeda-beda. Ada yang memang sejak lahir sudah membiasakan diri tidur beralas tanah dan beratap langit, ada yang dibuang orang tuanya, ada yang sengaja menceburkan diri tanpa pernah memikirkan bagaimana kerasnya jalanan menggerakkan cemetinya untuk memecut manusia-manusia tanpa masa depan seperti mereka.
Jalanan itu keras. Jalanan itu kejam. Jalanan itu tak mengenal belas kasihan.
Naas, sang pria tampan harus ikut menyelam bersama derasnya aliran kehidupan jalanan. Pria ini termasuk pada opsi kedua, yaitu dibuang orang tua. Katakanlah saat usianya empat tahun, dimana ketika teman sejawatnya mulai belajar cara membaca, ia sudah belajar bagaimana cara meminta-minta dengan baik dan benar. Saat usianya delapan tahun, kosa kata hewan dan organ-organ tak senonoh adalah bahasa sehari-harinya. Lima tahun berikutnya ia sudah menerbitkan kamus kata makian jilid pertama, dan satu tahun belakangan ia sudah mahir ilmu pencopetan dan perampokan tanpa kasat mata.
Untuk batangan ganja dan vodka, terlalu banyak lembaran won yang harus dikeluarkan. Kecuali jika bar dan klub malam di sekitar perempatan sana mau memberinya gratisan, setelah melayani beberapa wanita butuh belaian tentunya, maka dengan senang hati ia membiarkan paru-parunya menyesap lintingan marijuana itu.