Bagi banyak orang, buku adalah jendela ilmu. Tapi bagiku, buku adalah jendelaku untuk melihatmu.
***
DELLA menatap segala hal yang berada di perpustakaan kampusnya saat ini. Semua tampak terfokus dengan lautan kalimat yang berada di depannya, tidak seperti dirinya yang sedari tadi hanya memutar-mutar pulpennya tak jelas.
Jujur saja, ia sangat anti dengan perpustakaan. Traumanya dulu yang pernah tertimpa sebuah rak besar masih menghantuinya setiap ia datang kemari. Jika saja ini tak menyangkut nilai, tentu saja ia tak akan mau datang kemari.
Semua ini karena dirinya yang lupa dengan jadwal UTS-nya hari ini. Ah, lebih tepatnya adalah ini semua karena ulah abangnya yang menyuruhnya untuk membelikan sebuah barang untuk kekasihnya sehingga membuat Della lupa akan waktu dan berakhir mengenaskan di perpustakaan ini.
Della menghela. Semakin lama dia berada di sini, semakin lama pula waktu yang terbuang karena dia tak akan membaca satu kalimat pun dari buku tebal berisi ilmu di hadapannya. Namun, hal itu akan berbeda jika yang ada di hadapannya adalah sebuah novel. Della akan sangat betah berjam-jam lamanya duduk dimana pun ia berada sembari menyelam dalam kehidupan para tokoh.
Suatu hal untuk diketahui dari kehidupan Della, perpustakaan sangat bukan tipenya setelah kejadian mengenaskan itu terjadi. Ia lebih memilih belajar di kantin kampus dibandingkan ke sini.
Perempuan itu berdecak pelan. Kenapa tidak daritadi saja dia berada di kantin?
Ia pun mulai membereskan segala barang-barangnya yang tersampir di atas meja kayu berwarna putih kemudian memasukannya ke dalam sebuah tas jinjing kesayangannya. Baru saja ia ingin berdiri, seorang cowok yang sangat asing di pandangannya duduk persis di kursi yang terletak di sebelahnya.
Alis Della tertaut. Memang bisa saja ia menghiraukan keberadaan cowok yang tiba-tiba duduk di sebelahnya itu. Namun, cowok yang tak pernah ia lihat itu sedang menatapnya dan Della sudah terlanjur membalas tatapan cowok tersebut.
"Boleh gue liat telapak tangan lo?"
Della menatap aneh cowok di depannya dengan alis sebelah yang terangkat. Ia menelaah setiap jengkal tubuh cowok berkacamata besar itu. Rambut sedikit tersisir rapi dengan sedikit jambul, kaos panjang dengan celana panjang, dan sebuah tas selempang. Cowok itu memang terlihat seperti anak kuliahan.
"Boleh, ngga?" ucapnya lagi.
Della menenggak salivanya sangsi namun tetap memberikan tangan kanannya. Spontan, cowok itu menyunggingkan cengirannya kemudian menelaah telapak tangan Della. Tubuh Della yang tegang tadi mendadak rileks ketika laki-laki itu begitu riang meraba garis-garis di telapak tangannya. Mata yang dibingkai oleh kacamata itu memandang fokus tangannya seakan telapak tangannya itu adalah permata indah. Ada binar lucu yang bisa Della tangkap dari pandangannya.
Tak lama kemudian, laki-laki itu menoleh ke arahnya dengan senyuman lebar. "Gue mau ngeramal. Suatu hari, lo bakal tahu nama gue dan saat itu terjadi, gue bakal ngasih lo bunga anyelir."
Della sukses menjatuhkan rahangnya. Ia menatap tak menyangka cowok berkacamata yang kini telah melangkah menjauhi tempat duduknya. Setelah memberikan sebuah ramalan aneh, cowok tersebut malah berjalan pergi begitu saja? Ada apa dengan cowok itu?
Namun, belum sempat ia memikirkan lebih lanjut tentang identitas cowok tersebut, jam tangannya telah menunjukan pukul delapan pagi. Ini saatnya dia berperang dengan UTS dan sialnya, ia belum siap.
Semua gara-gara cowok perpus itu!
***
LANGKAH gontai, rambut tak tertata rapi, dan wajah masam tampak begitu kental di wajah Della. Pasalnya hari ini ia benar-benar merasa gagal. Dari sekian banyak pertanyaan yang dibuat, tak sampai seperempatnya yang terjawab dan semua ini gara-gara cowok perpus itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Perpus [One-Shot]
Short StoryYang Della tahu, masa kuliahnya akan berjalan seperti rencananya. Belajar, bersosialisasi, belajar lagi, kemudian pulang ke rumah dan memulai hari kembali dengan aktivitas yang sama. Ya, setidaknya itu yang Della kira sebelum cowok itu datang dengan...