Aku menatap langit. Minggu ke-tiga dibulan September. Daun menguning disekitarku mulai berguguran. Sedikit demi sedikit, hembusan angin menerbangkan ringan rontokan kekuningan daun yang nampak begitu rapuh.
Mataku terpejam untuk waktu yang lama. Sejak kejadian 2 bulan yang lalu. Bahkan aku tak pernah ingin kejadian itu terjadi. Sungguh ..., jika aku ingin memintanya untuk mengulang semua hariku. Aku ingin hari itu kembali berputar dan aku alami lagi. Mengganti takdir yang menyulitkan. Bahkan aku tak bisa membedakan, antara pergi atau menghilang. Bayang itu masih saja menghantuiku. Seolah memaksaku untuk menunggunya yang bahkan tak kujangkau lagi.
Kurasakan sesuatu yang hangat di sudut mataku. Beningan kristal ini lagi-lagi meleleh karena memanas di pelupuk mataku. Sedikit senyuman terlukis menghiasi wajahku saat sebuah siluet terindah itu muncul. Gadis cantik yang menemani kehidupanku 7 tahun kebelakang. Bukan, bahkan ia masih menemaniku di hari-hari ini.
"Di sini dingin, Kak!" Suara khas manjanya yang menyerukan panggilan paling indah yang pernah kudengar. Meski hanya panggilan sederhana. Tapi aku merasa begitu istimewa.
Mataku terbuka perlahan. Kini siluet yang kubayangkan tampil begitu nyata di hadapanku. Tersenyum manis dengan wajah cantik khasnya yang selalu membuatku hampir mati karena lupa bagaimana caranya bernapas.
"Kamu nggak pergikan?"
Ia menggeleng. Lavina Nibrah Hana. Gadis ini berjalan ke arahku. Merengkuh tubuhku yang mulai terasa beku karena kehilangannya.
Orang-orang di sekitar menatap heran ke arahku. Tapi aku tak memerdulikannya. Aku Ahmad Rayyan, terlalu senang untuk menerima kenyataan bahwa Hana masih berada di sampingku.
"Jangan buat aku cemas lagi."
Aku membelai rambutnya yang baru saja dipotong 3 bulan lalu. Memang bukan rambut panjang yang kupuja darinya. Sekarang rambutnya pendek sebahu. Tapi aku merasa ia jauh terlihat lebih cantik dan dewasa dengan potongan sederhananya.
Aku merasakan pelukannya menguat. Ia masih tak berbicara. Tak ada respon yang kuterima. Akh ... bahkan aku sangat merindukan suara khasnya yang melengking manja dengan intonasi ceria yang kusuka.
"Kemana suaramu? Kenapa kamu sekarang jadi pendiam begini?"
Ia melepaskan dekapannya saat aku selesai mengucapkan kalimat terakhirku. Ia menatapku dengan senyuman manis seperti biasanya. Senyuman yang kusuka saat ingin menyambut hariku.
"Jangan terlalu mengkhawatirkanku, Kak Ray," ucapnya lembut yang menyejukkanku. Dia mengelus pipiku lembut.
Kupejamkan kedua mataku. Merasakan kehangatan tangannya yang menjalar di kedua pipiku. Sungguh, sentuhannya membuatku merasa begitu nyaman.
Tiba-tiba saja kurasakan air mataku mengalir. Sesuatu kembali menyesakkan dadaku. Kenangan 2 bulan yang lalu. Di minggu pertama bulan Juli. Bahkan sentuhan yang meneduhkanku tadi juga ikut menghilang begitu saja.
Kubuka kembali mataku. Tepat saat itu, aku berhasil menjadi orang bodoh--lagi. Mataku menatap sekeliling. Mencari sosok yang baru tadi berada di sekitarku. Sekali lagi, dadaku semakin sesak. Embun-embun itu memenuhi kelopak mataku. Menerjang kuat memaksaku untuk menumpahkannya. Membuatnya seakan menganak sungai di pipiku. Dia pergi. Bukan, dia bahkan sudah benar-benar pergi jauh.
"ARGH ...." pekikku tak tertahankan. Sungguh hatiku masih belum bisa menerima takdir yang kini harus kujalani.
****
=flashback on=
Tepat 3 bulan berlalu sejak ulang tahunnya di bulan April. Aku pikir dia akan marah besar atau bahkan sampai merajuk. Ternyata tidak. Ia memahami keadaanku yang tanpa sengaja, terpaksa aku melewati begitu saja ulang tahunnya tanpa hal indah yang bisa kupersembahkan. Yah, aku menyesal telah menjadi pria yang buruk saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Moments (You and I) / One Shoot
Short StorySatu hal yang tak pernah bisa kau hindari. Apa pun itu! Perpisahan adalah akhir yang sebenarnya. Last Moment (You And I) Based on Eun Hyuk Fanfiction Yum / Chokiwa97