Di hadapanku, gadis cantik itu sudah menungguku. Minggu pertama di malam bulan Juli. Apa dia mearasa nggak panas dengan pakaian seperti itu? Okh ayolah, ini masih musim kemarau. Kamu nggak akan membeku juga?
Kulihat ia tersenyum saat tatapan kami beradu. Rambut sebahunya bergerak lihai dihembus angin. Tangannya terlentang menyambutku. Aku tahu, pasti dia sangat merindukanku. Apa kamu ingin kupeluk?
Selangkah demi selangkah, aku mulai berjalan mendekatinya. Mengayunkan kaki ke arahnya. Mengikis setiap rentang yang ada di antara kami. Mata kami masih saling menatap. Seolah tengah berbicara satu sama lain.
Dan tiba-tiba saja, tatapan itu seakan menohokku. Kurasakan sebuah luka yang sepertinya akan muncul. Tanpa kusadari, langkahku terhenti tepat di pinggir jalan. Berdiri di hadapan Hana. Bahkan aku belum sepenuhnya berdiri di trotoar.
Mungkin karena ini sudah malam. Jadi aku bisa leluasa di jalan ini. Kulihat Hana yang menatapku heran. Sekarang ia yang mendekatiku. Tepat saat ia berdiri divhadapanku. Tubuhnya dengan sigap merengkuh tubuhku yang jauh lebih besar.
Lagi. Air mata itu mencelos ke luar saat merasakan sesuatu seperti sedang memaksakan luka yang masih belum kupahami. Kurengkuh tubuh mungil Hana kuat. Gadis ini juga tak memberontak. Sama. Ia bertingkah seolah kami memang akan berpisah sejauh, bahkan selama-lamanya.
Dari arah barat. Kurasakan sesuatu menyilaukanku. Pandangan kami berpaling ke arah yang sama. Sebuah mobil bergerak tak tentu ke arah kami. Segera aku menyadari posisiku dan Hana yang mungkin saja bisa berada dalam kondisi bahaya.
Tanganku bergerak ingin menghindari tubuhnya dari tubuhku. Berusaha untuk mendorongnya. Berharap ia bisa selamat.
Tetapi semua tak sesuai pemikiranku yang terlalu kalut. Karena Hana sudah lebih dulu mendorong tubuhku ke arah trotoar. Menjatuhkanku ke sana tanpa dirinya.
Aku merasakan nyeri di beberapa bagian badanku, dan dalam hitungan detik, sebuah suara dentuman hebat menggema di tempat ini. Tubuhku menegang. Mataku membelalak. Dalam diriku, aku berdoa semoga itu bukan berasal dari Hana.
Kutolehkan arah pandangku menuju tempat seharusnya Hana berada. Gadis itu tak ada di sana. Ada darah segar di sekitar tempat itu. Mataku memutari ke segala arah. Kudapatkan tubuhnya yang lemas tergeletak di atas aspal bersimbah darah. Tubuh lemah tak berdayanya.
Aku bergetar. Dengan sekuat tenaga yang tersisa yang masih kumiliki. Aku melangkah ke arah Hana. Bibir gadis itu bergetar menyebut namaku. Ia tesenyum menatapku. Kenapa masih sanggup untuk tersenyum?
Kurengkuh tubuh lemahnya. Matanya menatap dalam ke manik mataku. Tangannya terulur mengusap pipiku yang entah bagaimana, sudah menanganak sungai karena air mataku sendiri.
"Tenanglah. Jangan nangis!" perintahnya.
"Bodoh! Kenapa masih menyelamatkanku? Seharusnya kamu menyelamatkan dirimu terlebih dahulu!" bentakku dengan nada sesegukan. Aku benar-benar tak sanggup melihatnya yang begitu lemas.
Air mataku semakin deras menyeruak mengalir di setiap pipiku. Kenapa ia masih saja tersenyum seperti itu? Seolah tak ada beban yang terjadi. Aku mengambil ponselku. Berusaha menelpon ambulan. Sial! Bahkan jika menelpon, mungkinkah Hana masih bisa selamat. Kugelengkan kepalaku kuat, menghapus pikiran bodoh itu.
"Yang kucintai lebih dulu. Dan aku lebih mencintaimu dari pada diriku. Karena itulah aku lebih memilih dirimu untuk diselamatkan lebih dulu."
"Kamu benar-benar orang bodoh Lavina Hana!" pekikku.
Segera kubopong tubuhnya. Tangannya mulai melemas di pipiku. Perlahan-lahan turun. Matanya masih menatap sayu kearahku.
"Berjanjilah untuk bertahan lebih lama lagi!"
Ia mengangguk. Aku segera berlari menuju rumah sakit terdekat. Sial! Kenapa tempat ini sepi? Dan kenapa penabrak itu tega sekali. Bisa-bisanya ia pergi begitu saja setelah kejadian ini. Dan lebih tak mungkin jika aku menunggu kedatangan mobil ambulan. Bisa-bisa Hye Sup sudah lebih dulu pergi sebelum ambulan itu datang.
"BERTAHANLAH!" pekikku lagi saat melihat kelopak matanya yang mulai tertutup perlahan di balik bahuku.
Matanya yang mulai mengecil menatapku. Kuletakkan tangannya di pipiku. Air mataku semakin deras mengalir. Sungguh, aku belum sanggup kehilangannya.
Ia tersenyum. Dan semakin banyak ia tersenyum, semakin dalam luka dan perasaan takut itu menyerangku.
"JANGAN TERSENYUM SEPERTI ITU!"
"Lalu aku harus bagaimana?" aku bersyukur saat telingaku masih bisa mendengar suaranya.
"Diam dan bertahan lebih lama lagi. Kita akan segera sampai di rumah sakit."
Ia mengangguk. Tak ada respon setelahnya. Aku masih bisa merasakan hembusan nafasnya yang memburu dan sedikit terputus-putus. Tak kuperdulikan lagi bajuku yang sudah bersimbah darah karenanya.
****
Langit malam yang seharusnya indah kini nampak semakin gelap di mataku. Ribuan kristal yang memaksa terjun terpaksa kutahan. Banyak orang-orang di sekitarku. Keluargaku dan keluarga Hana. Serta kenalan kami yang menyenpatkan diri untuk datang ke rumah duka.
Kulihat Mama--ibu dari Hana--yang sudah tampak lebih tenang setelah berjam-jam ia menangis. Sedangkan aku. Aku hanya menatap wajah cantik dari balik bingkai foto itu. Wajah yang setelah ini keberadaannya tak pernah kutemukan. Sosok yang kehangatannya tak pernah tersentuh lagi olehku.
Sial! Akhirnya kristal itu benar-benar jatuh. Semuanya mengalir begitu saja dari kedua pelupuk mataku. Aku merasakan sesuatu semakin terasa sakit dan menyiksaku. Kurasakan dadaku juga sesak. Kenapa harus secepat ini? Apa ini arti dari setiap rasaku seharian ini?
Galih--kakakku--merangkul pundakku. Menarikku ke dalam dekapannya. Membiarkanku menangis di bahunya. Dan saat itulah aku menumpahkan semuanya. Rasa sakitku, kecewa, dan tak terima akan takdir.
Jika seperti ini takdirku dengan Hana? kenapa kami harus dipertemukan sebelumnya? Kenapa kami harus terlalu lama menikmati masa indah yang akhirnya hanya menjadi memori pahit penuh luka? Kenapa? Kenapa harus ini?
=flashback off=
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Moments (You and I) / One Shoot
Short StorySatu hal yang tak pernah bisa kau hindari. Apa pun itu! Perpisahan adalah akhir yang sebenarnya. Last Moment (You And I) Based on Eun Hyuk Fanfiction Yum / Chokiwa97