My Dear Winter Breeze

58 7 2
                                    

Untukmu yang tak lekang oleh waktu.

Setiap musim dingin untukmu dan penghujan untukku, sudah tiga musim dingin ini kulalui dengan melihat sebuah amplop yang tak jua usang. Sebuah amplop yang tak pernah lupa kubaca berharap mampu menguras rindu dalam dada. Meski sebaliknya, rasa itu semakin jelas adanya. Tak jua hal itu menjadikanku jera, karena nyatanya tiga musim kulalui membacanya.

Masih jelas kuingat awal pertemuan kita, tingkahmu yang lucu sempat membuatku meragu, benarkah jurusanmu seserius itu? Tawa hampir selalu mampir di bibirku, ya, apalagi kalau bukan karena tingkahmu. Bahkan kau mampu membuatku tersenyum dengan alunan beat box- mu yang selalu kuminta untuk kau ulang dulu.

Dulu sempat aku menjauh darimu. Dulu, aku sempat takut untuk bersama denganmu. Kau tahu, aku takut aku semakin jatuh, semakin sulit untuk pergi dan berpisah. Meskipun setelahnya aku sadar, sebelum kamu pergi, kenapa harus kubuang waktu? Setelah itu roda pun berputar. Malah kau yang menjauh dariku. Aku bertanya-tanya apa salahku. Well, sebenarnya aku tahu.

Biarlah meski kau tak akan pernah tahu dan membaca ini, kuberi tahu suatu rahasia padamu, aku pernah terjebak dalam rasa itu padamu. Terlalu takut akan asaku yang membumbung dan menjulang kemudian membawaku terhempas dalam realita bahwa kita tak bisa bersama.

Kau, adalah orang pertama yang kulihat di pagi hari. Kau, dengan ucapan selamat pagimu selalu menyambut pagiku. Di meja ruang makan, ingatkah waktu itu saat kau bilang padaku untuk menghubungimu jika aku ingin membangun rumahku?

Satu hal yang lucu, saat itu kau persis berada di depanku. Teman kita yang super jangkung itu berkata untuk segera mengungkapkan perasaanmu agar tak menyesal, sebelum semuanya terlambat, sebelum kita berpisah. Aku yang sedang menelan tersedak, mengetahui maksud perkataan itu.

Belum lagi saat teman-temanmu menanyakan perihal perasaanku pada mereka semua. Dan aku tahu kau menegang mendengarkan bagaimana perasaanku padamu.

Saat itulah aku menyadari semua, ponselmu yang ternyata selalu berada dalam genggamku. Membiarkanku memotet apapun. Ingatkah waktu kau melarangku menghapus potret telapak tanganku yang belepotan cat? Meskipun akhirnya kuhapus. Malu, sungguh, itu yang kurasakan setelah menyadari semua. Aku bukan programmer yang paham bahasa kode, aku tak akan sesembrono itu seandainya kusadari lebih dulu. Tak akan kubiarkan selfie-ku menghiasi gallery ponselmu dan memakan memorimu. Mau ditaruh dimana mukaku?

Selalu kuingat sebuah pesan yang kau tulis untukku, walau tertulis tersamar di antara aksara yang bahkan ku tak tahu dulu, selalu menemani hari di musim hujanku. Biarlah namamu mengiasi setiap musim hujanku. Diantar hembusan angin musim hujan kukirimkan sejuta rindu yang tak pernah terucap, setiap hembusnya bagaikan rangkaian kata cerita kita. Bagaimana mungkin aku melupa.

Dariku yang tak pernah melupa.

Ich Bin IchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang