LIMA

9.3K 1K 38
                                    

Jam menunjukkan pukul sembilan malam saat bel berkumandang memenuhi seluruh ruangan apartemen. Aku yang sedang mengobrol dengan Reka tentang pekerjaannya di Singapura seketika berdiri. Aku menatap Reka, bingung, "kamu pesan delivery food?"

Reka dengan cepat menggeleng. Sementara di kepalaku, berkecambuk pertanyaan, siapa yang datang semalam ini?

Aku berjalan cepat menuju pintu dan mengintip keluar melalui celah kecil yang ada di pintu. Degup jantungku berhenti. Mati aku! Omega pulang! Dengan cepat, kuputar kunci dan kugerakkan kenop membiarkan pintu terbuka sampai kira-kira tubuh Omega cukup melewati celah yang ada.

Pakaiannya agak berantakan. Kemeja lengan panjangnya ia lipat hingga siku dan wajahnya tampak lelah. Aku menatap matanya takut-takut, siap diberondong amarah karena lambat membuka pintu atau apa sajalah. Omega, biasanya, punya banyak materi untuk dijadikan bahan amarah padaku.

"Maaf lama," ujarku cepat sebelum ia merentetkan amarahnya. 

Aku sudah siap menerima rentetannya, sebenarnya, tapi, yang kuterima malah hal yang tak pernah kutebak sebelumnya: sebuah senyuman.

SENYUMAN?!

"Reka datang?" tanyanya lembut. "Mana? Aku mau ketemu."

Oh, tentu saja. Ini pura-pura. Pasti dia sedang berpura-pura menjadi suami pada umunya--perhatian, charming and so on and so on. Aku tidak merasa sedang tidak jadi istri seorang pengusaha tapi seorang pemain film. Tapi, kalau itu yang Omega mau, bukankah aku harusnya berterimakasih? Pernikahan kami jadi tidak perlu karam sekarang karena Reka tidak akan menemukan celah untuk memintaku berpisah dari Omega. 

"Di dalam," sahutku.

Omega menggeser tubuhnya melewati celah kecil yang kuberikan. Tangan kirinya merapatkan pintu sementara tangan kanannya mengacak rambutku. Setelah dari rambutku, ia segera mengunci pintu dan mendaratkan sebuah ciuman kecil dan sederhana di sudut bibirku. Gestur kecil yang entah kenapa kuidam-idamkan. Hadiah yang pantas untuk semua rasa sakit yang ia berikan. Upah yang akhirnya terbayar.

Tanpa memedulikan efek perbuatannya pada tubuhku yang membeku, ia segera berjalan mencari Reka. Terakhir kali bertemu, Reka dan Omega seperti dua orang yang nyaris saling membunuh. Omega tidak menunjukkan ketidaksukaannya pada Reka, tapi, juga tidak menunjukkan kesukaannya. Sementara Reka, oh, lupakan. Dia benar-benar melempar sejuta sindiran. Dia tidak berniat menutupi ketidaksukaan. Dan apa yang akan mereka lakukan sekarang?

"Hey," sapa Omega. Riang. Jenis keriangan yang tidak pernah ia tawarkan padaku tapi ditawarkan pada semua orang di luar sana.

"Oh, Hey," sapa Reka balik. Suaranya superdatar.

Kecanggungan sama sekali tidak dapat mereka tutupi. Kecanggungan luar biasa yang menutupi seluruh ruangan sampai ke atmosfer. Kecanggungan yang bahkan bisa menyentuh kulitku.

Is this fine

Terdengar bunyi kursi digeser. Omega pasti duduk di salah satu bangku makan karena Reka memang sedang duduk di salah satu bangku lainnya. Sebelum Omega datang, aku dan Omega sedang bercakap-cakap sambil mengemil kuping gajah yang kubeli di indomaret bawah.

"Samy kemarin SMS waktu kamu sampai," Omega berusaha membuka percakapan. Ludahku kutelan banyak-banyak membiarkan kupingku tergelitik suara Omega memang menyenangkan. Biarkan dia menyebutku dengan Samy dan bukan Phieta. Momen-momen ini menyenangkan. Ingin kukristal dan kuabadikan selamanya. "Maaf baru bisa datang. Kemarin ada kerjaan mendadak di Bandung. Ini baru pulang."

"It's okay," sahut Reka. Tidak ingin terdengar ramah sama sekali. Suaranya datar tanpa ekspresi. Ia seolah lagi memesan seplastik kacang pada pedagang. 

Stockholm Syndrome (SS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang