o n e

4.9K 365 45
                                    


"Oi, fokus," ketus Ara pada salah satu adik kelasnya yang sedari tadi salah melakukan gerakan. "Ini buat lomba minggu depan. Kalo lo gini terus, gimana mau nyabet juara pertama?"

Adik kelasnya itu menunduk dalam. Ia mengangguk sambil menyahuti Ara dengan suara seperti cicitan tikus.

"Latihan sampe bener," ucap Ara lantang pada semua anggota tim pemandu sorak yang ada di sana. "Kalo udah yakin penampilan lo semua sempurna, baru panggil gue buat nonton. Gue gak suka nonton penampilan sampah kayak gini."

Hening otomatis menyelimuti. Pevita yang berdiri di sebelah Ara pun tidak bisa berkata-kata. Ketika Ara berbalik pergi meninggalkan lapangan, baru gadis itu berbicara dengan nada yang lebih lembut dan menyenangkan. Ia menyusul Ara beberapa saat kemudian.

"Ketus amat," komentarnya.

"Penampilannya kacau. Mereka gak siap sama sekali buat lomba minggu depan," kata Ara dengan bibir membentuk garis tipis. Ia terlihat benar-benar kecewa terhadap penampilan junior-juniornya barusan.

"At least, they've tried, Ra," kata Pevita dengan nada menenangkan.

"Gue yakin mereka latihan gak segiat yang mereka bilang," kata Ara. Ia masuk ke dalam kelasnya lalu mengambil tas merah mudanya. "Lo dijemput?"

Pevita mengeluarkan ponsel dari saku roknya kemudian mengecek notifikasi di dalamnya. "Kayaknya iya. Lo pulang sama siapa?"

Ara mendesah ketika ia ingat Rian hari ini tidak bisa mengantarnya karena cowok itu ada keperluan untuk membantu ibunya mengadakan pengajian mingguan di rumahnya.

"Gampang deh, gue pulang sama supir aja," kata Ara.

"Supir angkot maksud lo?"

"Sialan," kata Ara.

"Bareng gue aja apa? Kayaknya gue dijemput abang gue naik mobil," tawar Pevita.

"Rumah kita beda arah, Pev. Gak mau ngerepotin ah, gue," kata Ara.

Pevita berdecak dengan nada meledek. "Wih, tumben lo gak mau ngerepotin. Biasanya bodo amat kalo ngerepotin orang?"

"Heh! Masalahnya ini ada abang lo. Nanti gue jatuh cinta sama dia kan repot," kata Ara asal.

Pevita tertawa. "Awas ya kalo lo nyampe jatuh cinta ama abang gue!"

"Yee, yang ada abang lo yang jatuh cinta lagi ama gue," kata Ara sambil memeletkan lidah.

Sebenarnya Ara tidak salah. Abang Pevita pernah menjadi salah satu orang yang menembak Ara. Kalau tidak salah waktu itu Ara masih mengenakan seragam putih biru. Sejak saat itu Ara hanya mau bermain ke rumah Pevita kalau abangnya sedang tidak di rumah. Pernah sekali mereka berpapasan dan suasana menjadi canggung berat.

"Abang gue udah punya pacar kali," kata Pevita. "Dia udah sepenuhnya pindah hati dari lo."

"Wah, gue harus sujud syukur nih," kata Ara.

"Sialan," kini gantian Pevita yang mengumpat. "Eh, betewe abang gue udah dateng nih. Lo seriusan gak mau bareng?"

Ara menggeleng kuat-kuat, meyakinkan bahwa ia tidak perlu tebengan gratis dari abang Pevita.

"Terusss, lo pulangnya gimana?" tanya Pevita dongkol dengan kekeraskepalaan temannya.

"Gue bisa jalan," kata Ara. Ia kemudian diam. Rumahnya tidak sedekat itu. Pulang dengan jalan kaki sama saja dengan bunuh diri. "Atau naik ojek. Atau angkot. Atau bus. Pokoknya gue bakal nyampe rumah deh."

"Ya ... udah deh. Hati-hati ya, Ra," katanya. Ia menepuk pundak Ara sekali lalu berlari keluar kelas.

Ara kini tinggal di kelas sendiri. Ia menghela napas pendek. Memang sih di sekolahnya masih ada beberapa murid yang sedang latihan. Mulai dari latihan sepak bola sampai atletik. Dan, Ara yakin seratus persen mereka bakal memberikan tebengan cuma-cuma kalau Ara meminta. Bukan bermaksud sesumbar atau bagaimana. Kenyataannya memang begitu, kok.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Not Every Boy's First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang