Pagi itu, dari kamarnya, perempuan itu membuka tirai. Indah menikmati pagi dimana sang mentari masih bersembunyi.
Dulu, saat perempuan itu baru putus dari kekasihnya. Dia benci menatap apa yang ada di hadapannya sekarang. Tapi, baru beberapa bulan tanpa kekasihnya, dia merindukan hangatnya mentari pagi. Waktu dimana orang-orang menyebutnya Fajar, persis seperti nama orang yang dia cintai.
****
Pria itu menyandarkan tubuhnya pada kursi taman di halaman kampusnya. Sesak itu tiba-tiba muncul di dadanya. Pelan-pelan dia menghirup nafas, merasakan hembusan angin sore yang mulai dingin. Sedikit rasa lega mulai mengisi dadanya.
Awan jingga disana melukiskan sebuah kesan baginya, mungkin beberapa kesan. Dari banyak kesan, ada pula penyesalan. Andai dulu, Ia bisa meluangkan waktu di sore hari seperti ini. Tidak pernah dia bayangkan bagaimana hubungannya putus hanya karena waktu.
Kekasihnya, dulu dia sangat senang ketika kekasihnya itu membaca bukunya dan menjadikan dirinya sebagai sandaran, juga sebagai alat yang memindahkan bacaan pada halaman berikutnya ketika kekasihnya mengucapkan 'next'. Sampai hati 'kah dia memutuskan kekasihnya? Tentu saja tidak, Ia hanya mengalah, membiarkan kesepakatan mereka berbicara.
Untuk menghilangkan semua kejenuhannya tanpa kekasihnya, Ia rela pindah jurusan kuliah. Dia rela masuk pagi dan pulang sesore ini.
Dia rela membagi waktunya hanya untuk melihat Senja, waktu yang disayangi, seperti dia menyayangi perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fajar dan Senja
Short Story"Fajar emang nggak bisa dateng Sore?" "Maaf, Senja. Fajar cuma ada waktu di pagi hari." Entah kenapa, waktu yang dijadikan alasan. Sudah dibilang bukan salah waktu, namun keduanya tetap menyalahkan waktu Katanya, karena waktu mereka tidak bisa...