Cerpen Satu -Nggak Ketemu-

43K 370 43
                                    

This one i wrote it for my friend. Irvan.

Nope, i don't feel the same way as Rani does to Dewa. I just inspired by your choice that will be going as soon as possible. And yes, you are annoying.

Take care, brow!

********

Berdua.

Bersama di pinggir kota. Lampu kaca menemani senja mencoba untuk menambah suasana roman di antara kita.

Aku senang, kamu senang. Kita sedang berbahagia hari ini. Aku dengan korsa di tangan yang baru saja kudapatkan dan kamu dengan setiket pesawat terbang menuju Jerman.

Banyak orang mengira-ngira status apa yang ada di antara kita. Mereka curiga dan ingin bertanya. Aku? Aku hanya terdiam dan tersenyum masam karena kalimat tanya mereka. Mereka mengira kita adalah sepasang kekasih yang sedang memadu rasa. Nyatanya, kita hanya teman dekat yang jarang bertatap muka. Aneh memang, karea mungkin mereka merasakan aura istimewa yang ada saat kita bersua. Mereka melihat hal semu yang terlalu tabu untuk dirasakan kita berdua.

"Alhamdulillah banget aku bisa dapet tiket ini." Katamu senang dengan binar yang terlihat jelas dari kedua mata.

Aku tersenyum tipis. Jenis senyuman yang selalu kutunjukan saat kamu bahagia akan suatu hal yang akan membuatku merana.

"Kapan berangkat?" Tanyaku sambil mencoba bersemangat untuk membahas topik perpisahan kita.

"Lima hari lagi."

Aku terhenyak mendengar jawabanmu. Kalimat itu bagaikan talak yang terasa menyakitkan untuk didengar sekaligus dirasakan.

Aku menarik nafas dengan berat, berharap dengan cara itu perasaan sedihku akan tersimpan rapat. Aku enggan menunjukan kesedihan itu malam hari ini, karena dengan aku menunjukkannya, malam kebahagiaan kita akan rusak dan bercacat.

Aku diam, aku tidak tahu bagaimana caranya menjawab dan bertukar pengalaman denganmu saat hatiku terasa miris.

Hingga akhirnya keheninganlah yang memutuskan unjuk suara saat mulutku tak bisa menemukan cara untuk berbicara.

Diam.

Hening.

Dan saling menghindari tatapan mata.

Pandanganku mengelana ke segala arah, mencoba mencari objek menyenangkan untuk dipandang agar kedua mataku tidak menjatuhkan perhatiannya padamu. Sulit memang, tapi itu patut untuk dicoba ketimbang perasaan perih membuat hati semakin merintih.

Suasana kafe yang kita pilih menjadi saksi bisu kebersamaan kita untuk terakhir kalinya pun mendukung aura keheningan yang tercipta. Mungkin diam bisa menjadi sarana kita untuk saling membagi rasa.

"Ran." Suaramu yang tiba-tiba memecah keheningan membuatku mengalihkan perhatian dari segelas ice chocolate pappermint yang masih penuh. Aku mendongak dan menatapmu dengan pandangan tanya, mengisyaratkan agar kau kembali berbicara.

"Ada apa?"

Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan aneh yang baru saja kau utarakan.

"Memangnya aku kenapa?"

"Kamu terlihat berbeda." Katamu dengan suara yang terdengar sedikit ragu.

"Beda gimana? Aku kurusan, ya?" Tanyaku yang diakhiri dengan nada bercanda. Kamu tersenyum dan menggelengkan kepala, seakan pertanyaanku adalah kalimat aneh yang bisa membuatmu tertawa.

"Enggak, ya kamu aneh aja. Diem, nggak komentar apa-apa tentang keberangkatanku menuju Jerman."

Aku menghembuskan nafas berat sekali lagi.

CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang