Dulu, kupikir hanya pujangga yang bisa meramu dan merangkai kata cinta. Hanya mereka orang-orang bijaksana yang mendewakan rasa bahagia dengan hubungan mesra. Aku pun berusaha untuk tidak perduli bagaimana cinta mengubah dunia dengan seluruh keajaibannya. Seandainya bisa memilih, dulu aku ingin untuk tidak jatuh cinta.Sekarang, 26 tahun umurku. Sudah hampir sepuluh tahun waktu terasa lambat berlalu. Aku masih bisa mengingat betapa angkuhnya aku menentang cinta dan berdamai dengan yang mereka katakan tentang munafik.
Namanya Ali. Ali Radistira lengkapnya. Lelaki bertubuh tinggi dengan bulu mata badai dan alis tebalnya yang aduhai. Dia sangat terkenal di sekolahku waktu itu. Seperti cerita cerpen kebanyakan, aku tahu ceritaku ini membosankan. Masih seputar anak SMA yang jatuh cinta pada sosok idola di sekolahnya. Namun cintaku tak semudah cerita-cerita itu. Dia seorang lelaki penuh misteri yang beruntungnya sangat dingin terhadap perempuan. Ali hanya melempar senyumnya untukku. Entahlah, saat itu aku belum terlalu perduli dengan itu.
"Karna bibirku tersenyum dengan password di wajahmu Prilly."
Masih kuingat betul teriakannya kala itu. Dia tidak kutanya alasannya kenapa sangat mengistimewakanku, temannyalah yang bertanya ketika aku berjalan melewati rombongannya. Aku bahkan belum berbicara sepatah katapun padanya.
Kelas kami terpisah dua ruangan kelas lain. Seperti anak SMA kebanyakan, kelas IPS adalah kelas tergaduh yang sangat terkenal. Tapi sungguh, meski aku masuk di kelas IPA aku tak pernah merendahkan anak IPS. Justru aku kagum pada Rafa, si juara olimpiade geografi nasional, atau pada Mirna si genius akuntansi yang kerap membanggakan sekolah. Sedangkan aku? Aku hanyalah gadis biasa tak berharga dari keluarga biasa yang sangat istimewa hingga mampu membuat senyum di bibir Ali.
"Prilly Andaresta."
Setiap kali aku melewati kelas Ali untuk ke kantin bersama dua orang sahabatku, selalu kalimat itu yang kudengar tercetus dari bibir merah seksi itu. Ya ... entah hanya perasaanku, atau memang Ali sengaja menungguku melewati kelasnya lebih dulu, baru dia akan pergi ke lapangan, mengambil bola voly yang sudah seperti kekasihnya, dan melepas seragam putihnya.
Ali berhasil menyita perhatianku. Aneh memang, semakin aku berusaha tidak perduli, semakin Ali datang memenuhi otakku yang kerdil ini. Biar kukatakan, kisah ini tentang seorang lelaki yang memiliki senyuman mempesona, dan senyum itu hanya untukku.
"Prilly! Kalo gue menang, gue traktir lo makan!"
Sontak seluruh mata gadis di pinggir lapangan yang kerap meneriakkan nama Ali menoleh padaku tajam. Itulah alasannya kenapa aku lebih memilih menyendiri di perpustakaan daripada melihat Ali bermain voly di lapangan. Kadang aku bertanya-tanya, apa dia tidak merasakan sengatan matahari di tengkuknya? Atau dia tidak takut kulit tampan bersihnya menghitam karena terbakar surya? Ah ... aku yakin Ali tak mempedulikan hal-hal kecil pengisi otak perempuan seperti itu.
"Lo bikin malu gue." Bisikku lirih kala Ali mencegatku di depan gerbang dengan masih duduk di atas motor sportnya yang membuat gadis-gadis histeris.
"Lo telanjang?"
Aku memutar bola mataku jengah. Itulah keterampilan Ali yang paling kubenci hingga sekarang. Dia sangat pandai membolak-balik kata dan makin membuatku tak bisa berkata.
"Maksud lo?"
"Kenapa harus malu, Prilly Andaresta?"
Hingga kami lulus dan berpisah, Ali masih setia memanggilku dengan menyebut nama lengkap. Aku tidak tahu apa alasannya, setiap aku bertanya dia hanya menjawab dengan senyumannya. Aku bertekad, suatu saat jika kami bertemu, selain kata sakti itu yang akan aku ucapkan, aku akan benar-benar mendesaknya untuk mengaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ali, Aku Masih di Sini
LosoweJika dengan mengingatnya maka aku akan tetap jatuh cinta, aku akan rela. Jika dengan mencintainya maka aku akan mengingatnya, dia tetap di dalam jiwa. Ali ... aku masih di sini, dan selamanya akan tetap menanti.