Asaku Lebih Gigih dari Rayumu, Akhi

87 2 0
                                    


“Zahra, jangan ngebut ya!” teriak bunda dari dapur.

“Iya, Bunda!” jawabku sembari mengeluarkan motorku.

Saat mentari masih mengintip di balik pegunungan yang jauh membiru itu. Aku harus bergegas untuk berangkat ke tempat magangku. Itu menjadi kebiasaanku sejak 1 bulan terakhir ini.  Maklum, tempat magangku agak jauh, sekitar butuh waktu 25 menit untuk sampai.

***

“Alhamdulillah, pagi ini tidak macet.” Gunyam hatiku.

Sesampai di parkiran aku turun dan melepas helem. Tiba-tiba ada seseorang yang sedang memakirkan sepedanya di sampingku. Aku tetap saja fokus melepas masker pink yang kukenakan.

“Maaf, Dik. Kamu magang ya?” tanya seorang pemuda berbaju biru, berkulit kuning, dan agak tinggi hingga sekilas mangalihkan pandanganku. Sepertinya dia juga anak magang, tetapi mungin umurnya sedikit lebih tua dariku.

“Iya, Mas. Mari saya duluan!” Aku tersenyum lalu menunduk. Kuteruskan perjalananku menuju ruang magang dan meninggalkannya di parkiran. Tanpa kusadari ia mengejarku dengan lari kecil.

“Dik, boleh minta nomor hpnya?”

“Maaf, Mas. Saya tidak punya.” Berjalan cepat sambil menunduk. Jujur, aku merasa takut. Apalagi ini bukan di desaku. Jantungku berdetak kencang. Aku ingin segera berlalu dan terbebas dengan pemuda asing ini.

“Masak, tidak punya hanphone?”

“Saya tidak punya. Maaf, Mas. Saya sudah terlambat!” aku memasuki ruang komputer.

“O iya, Dik!” menghentikan langkahnya.

Hem, Aku sangat lega. Akhirnya aku terbebas!”

Suara perut kami yang mulai menggelar show, membuat kami memandang jarum jam yang terus berjalan. Pukul 10.00 WIB. Saatnya kami istirahat. Dina dan Haikal yang merupakan teman sekelasku pergi ke kantin. Aku sengaja tidak ikut mereka. Aku harus menyelesaikan animasiku yang sedikit bermasalah.
Tak terasa jam dinding menunjuk angka 13.00 WIB.

Saatnya kami pulang. Haikal naik motornya tepat di belakang kami. Sedangkan aku membonceng Dina, kebetulan rumah kami searah. Meskipun Dina diantarkan ayahnya ketika berangkat, tetapi ia selalu ikut aku saat pulang. Dina memang lebih disiplin dariku, setiap pagi ia selalu sampai di tempat magang lebih awal.

***

“Zahra, tadi ada yang minta nomormu di kantin?” membuka kaca helemnya.
Serentak prasangka muncul bahwa pemuda asing itulah yang nekat meminta nomorku.

“Siapa, Din? Lalu apa kamu kasih?” membuka kaca helem dan tetap memandang ke arah jalan.

“Aku ngga tau, Zah. Bukan aku yang ngasih, tapi Bu Siska. Aku tidak enak melarangnya. Pria itu pake baju biru, agak tinggi....”

“kulitnya kuning?” menyela pembicaraan.

“Iya, Zah. Kok kamu tau?”
“Aku tadi baru ketemu dia di parkiran, Din. Aku tadi dikejar.”

Cie cie cie! Di kejar!” menepuk-nepuk bahuku.

“Udahlah, Din. Kamu tau aku kan?” kututup kaca helem kemudian sedikit menambah kecepatan.

***

Senja hadir menyibakkan  warna jingga, aku di ruang belajar menulis laporan magangku yang harus ditandatangani besok. Ternyata liburan 2 minggu selama idul fitri, membuat aku mengabaikan tugas-tugasku. Ya memang, aku terlalu menikmatinya.
Tiba-tiba ada pesan masuk di ponselku.

Assalamualaikum, minal aidzin wal faidzin...” nama tak diketahui.

Wa’alaikumussalam, sama-sama. Ini siapa?”

“Aku Reza, masih ingat kah?”
Aku tidak pernah tahu nama itu dalam daftar nama teman atau keluarga. Tetapi aku langsung berpikir itu pemuda asing tadi.

“Yang di tempat magang tadi?” balasku.
“Iya, benar.”

Ia terus bertanya tentang aku selama 2 hari berturut-turut. Kujawab dengan kalimat pendek tak berhias diksi. Sebenarnya aku takut untuk membalasnya. Tetapi aku khawatir jika menginggung perasaannya. Apalagi waktu magangku masih kurang 1 bulan. Peluang bertemu dia sepertinya masih mengincarku. Tiba-tiba dia mengirim pesan yang menurutku semakin aneh.

“Boleh aku kesitu, kita ketemuan? Aku ingin mengenalmu lebih dekat, Dik.”

Ya Allah. Aku semakin takut engkau murka padaku. Di saat aku harus fokus belajar sambil mempertahankan prinsipku untuk tidak pacaran, di saat itu ujian pun datang. Aku mohon agar Engkau menjagaku dari bisikan setan yag memburu kalbu. Ini merupakan kejadian aneh pertama kali di usia remajaku. Sejak dulu, tidak ada pemuda yang terang-terangan merayu atau meminta kenalan. Dalam kisahku dulu, mereka hanya berani menyatakan rasa lewat sahabat baikku atau sepucuk surat. Tapi aku sadar, bahwa ujian akan naik ke level lebih tinggi, melihat kedewasaan atau tingkatan iman seseorang. Aku hanya ingin Allah mengantarku untuk terus melangkah sesuai syariat-Nya.

Sebenarnya aku agak kesal dengan cowok ini. Tetapi aku masih ingat dengan pesan kakak, “Awas, Zah! Jangan terlalu kasar dengan cowok.” Kakak juga menasihatiku  untuk tetap berkata sopan, karena khawatir jika dia nekat dan membuat kita dalam bahaya.

“Ya Allah, tolong hamba.” Pintaku dalam hati sembari membalas pesannya.
“Mohon maaf ya, Kak. Saya tidak bisa.” Kubumbuhi emoticon smile agar ia tidak tersinggung.

Ngga papa kok, Dik.  Kalau tidak mau.”

“ Terima kasih, Kak.”

“Sama-sama, mungkin belum waktunya untuk ketemu.” Balasnya dengan emoticon smile juga. Setelah itu, ia tidak membahas hal itu lagi. Ia hanya menanyakan sekolah, pekerjaan rumah, dan hal umum lainnya seperti teman-temanku.

Duar! Akhirnya bom kekhawatiranku meledak,  menaburiku dengan bunga-bunga ketenangan. Setelah hari itu, ia tidak lagi menghubungiku. Saat di tempat magang, aku juga tidak pernah bertemu dia lagi.

“Zahra!” suara yang tak asing memanggilku dari belakang hingga menghentikan langkahku.

“Iya, Bu” menoleh ke arah Bu Siska yang berada di belakangku.

“Reza pernah sms kamu ya, Zah?”

“Iya, Bu. Kenapa?”

“Sebenarnya, ibu yang ngasih nomormu ke dia. Tapi sebelumnya ibu sudah berpesan ke dia kalau kamu itu pendiam dan bukan gadis gampangan. Maaf ya, Zah.”

“Ah! ibu bisa saja. Enjeh, Bu. Tidak apa-apa. Hehe.” Aku tersenyum karena kasihan dengan Bu Siska yang merasa bersalah.

“Si Reza sekarang sudah lulus magangnya dan katanya dia sudah langsung dapat kerja. Dia tidak bilang ke kamu?”

“Alhamdulillah kalau gitu, Bu. Tidak, Bu. Dia sudah tidak pernah sms saya lagi.”
“Wah, paling kamu sudah mematahkan hatinya, Zah.” Tersenyum menggodaku

“Hehe, tidak Bu.” Tersenyum malu.

Kakakku pun berkata, “Zahra, kisah-kisah cinta yang mungkin dapat mengusik hatimu akan dimulai. Ini hanya awal, mengingat umurku baru 17 tahun 6 bulan. Kakak yakin, akan ada kisah lain yang akan datang dan mewarnai perjalanan hidupmu.”

Tunggu kisah berikutnya ya!
(Terima kasih, mohon komentar jika ada kesalahan dari caraku menuliskan kisah ini, semua akan kujadikan pedoman di ribuan kisah yang ‘kan kutuliskan. Insya Allah. Aamiin)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Asaku Lebih Gigih dari Rayumu, AkhiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang