Yunho menyipit ketika angin sejuk bukit membelai wajahnya lembut, puntung rokok bertengger di bibirnya, menyala dengan bara panas bergemirisik mengirimkan asap hangat ke mulut pria itu.
"Yunho!" Panggil Siwon mendaki bukit dengan langkah lebar dan berhati-hati.
"Mereka butuh seharian untuk menginspeksi mansion sebesar itu." Pria itu mengernyit tatkala angin mulai bertambah kencang menampar wajahnya. "Kau bisa pulang hari ini, akan kukirimkan hasilnya besok pagi."
Yunho membuang puntung rokoknya, lalu menginjak benda itu dengan sepatunya. Ia mendesah, menatap bukit dengan pohon Willow besar bertengger kokoh di ujungnya. Ayunan reot yang ia kerap datangi 20 tahun lalu melenggang tertiup angin.
Mungkin ia lupa, mungkin ia hanya tidak ingin mengingat lagi. Namun seolah layar pertunjukan, ia mengulang lagi pemandangan dimana seorang bocah laki-laki dengan gaun biru berayun di tempat itu.
.
.
.
.20 years ago
.
.
.Yunho duduk di teras belakang rumah halmoninya melamun menatap ikan Koi seukuran paha dalam kolam batu bergaya Jepang kesukaan neneknya itu. Ia mengeluhkan tangannya yang diperban menempel pada dada, terasa pegal selama tiga hari ini.
Karena kecerobohannya memanjat pohon di sekolah, ia berakhir dengan mengambil cuti sekolah selama 2 bulan karena tangannya yang patah. Yunho menyesal, meskipun itu sudah terlambat.
Orang tuanya bekerja hingga sore hari, dan khawatir jika Yunho yang masih membutuhkan bantuan tidak terawat dirumah. Jadi disinilah ia, ratusan mil dari rumahnya, duduk tanpa kegiatan di teras rumah nenek kesayangannya. Dan Yunho merasa bosan.
"Apa kau mau makan ikan, boy?" Halmoni Yunho berkata di kursi goyangnya, ia tersenyum pada Yunho, senyum yang aneh karena ia tidak punya gigi sama sekali.
Sebenarnya, nenek Yunho adalah orang yang baik dan dermawan. Namun karena usia yang terlampau lanjut, ia menjadi sedikit aneh, menurut Yunho.
"Halmoni." Yunho beringsut mendekat. "Bolehkah aku main keluar hari ini?" Mohonnya.
Nenek Yunho mengintip lewat kaca matanya, lalu berpikir. "Aku rasa ibumu mengatakan sesuatu tentang main keluar pagi ini."
"Ara, ara. Ibu berkata aku tidak boleh main diatas jam 6 sore." Yunho berbohong. Ia tahu ibunya melarang ia untuk keluar sendirian selama dua bulan ini. Namun ia tahu neneknya tidak akan ingat.
Halmoni Yunho mengangguk-angguk. "Jangan lupa untuk pulang sebelum makan malam, ara? Dan," jeda sebentar, ia mengangguk seolah tertidur, "Jangan lupa bawakan aku ikan goreng untuk makan malam." Neneknya melantur.
Yunho melompat berdiri, lalu bergegas memakai sandalnya.
"Jangan dekat-dekat mansion putih, Yunho!" Teriak neneknya ketika Yunho berlari keluar.
Ladang rumput hijau menutupi bukit-bukit kecil terhampar di depan mata Yunho. Ia bisa melihat beberapa rumah dan peternakan, juga kota padat dekat laut penuh dengan kapal-kapal kecil berwarna-warni di ujungnya.
Yunho terseok-seok mendaki bukit, ia ingin pergi ke peternakan paman Joel. Domba-domba disana berbulu tebal dan disikat tiap bulannya, Miss. Prinne-putri paman Joel-merawat dua kuda pelari dengan warna coklat tua lekat dan putih bercorak abu-abu. peternakan itu berada dekat dengan sungai berair amat dangkal, dengan bebatuan licin yang menyembunyikan ikan-ikan Redeye. Tempat terdekat yang paling mengasyikan yang bisa Yunho kunjungi.
Yunho terengah-engah ketika sampai di pagar kandang ayam paman Joel. Tubuh bocah berumur 12 tahun yang terlalu lama tinggal di kota, membuatnya jarang berolah raga.