Senja kala itu masih begitu terasa dalam ingatan. Beberapa waktu silam, ketika sang surya mengendap-endap balik ke peraduan, kami berdua bagitu mesrah menikmati lautan yang mulai keemasan. Riak-riak lautan yang terus mencumbui pasir pantai seakan turut bersuka melihat kemesraan kami. Ikan-ikan serupa teri yang sedang bekejaran menambah keestetikaan alam lautan sore itu. Di senja itu pula menyadarkan kami, betapa indahnya ciptaan tuhan. Walau disayangkan, akibat kerakusan manusia, semesta ini hanya dipandang jika mampu memuaskan nafsu-nafsu mereka.
Ketika ruang terus bersekutu pada waktu, lamat-lamat senja itu menghilang tanpa kami sadari. Satu persatu tiang-tiang lampu yang berdiri tegak di sepanjang hamparan pantai satu persatu memancarkan sinarnya. Mungkin manyambut datangnya malam itu, ikan-ikan kembali melompat tak karuan seakan ingin memangsa pijaran lampu di riak lautan itu. Kami yang mengabadikan peristiwa itu walau hanya sebatas pandangan memaksa kami turut bahagia melalui simpul senyuman.
" Dinda, andai semua manusia tahu apa yang terjadi di malam ini, mungkin pembantaian, perusakan rumah warga tak akan pernah terjadi. Coba pandangi ikan-ikan yang melompat itu, meski di dalam lautan sana hidup mereka tak pernah aman, mereka terus saja menikmati damainya kehidupan ini". Begitu kata yang sempat terbisik di telinga kananku ketika kami terus memandangi ikan-ikan kecil itu. Tanpa bersua, kusempatkan menatap wajah kekasihku itu sambil membalas ucapannya dengan senyuman manisku. Yah, begitulah sekuntum kenangan yang ditorehkannya ketika kami sedang menghabiskan waktu untuk yang terakhir kalinya bertatap muka. Kenangan di senja itu menjadi pelipur lara hatiku ketika ingatan ini tersibak wajah polos dan lugunya itu. Itulah sebabnya, untuk yang ketiga kalinya bulan berganti tahun aku tak mampu untuk meluangkan waktu sejenak memalingkan wajah ke bibir pantai. Apalagi dengan matahari senja, meski sudah nampak seperti sedia kala aku belum juga bisa menikmatinya walau sejenak. Jujur, bukan karena apa dan siapa sehingga perasaan membuatku demikian. Setelah kejadian yang kualami beberapa tahun lalu, hal itu terus saja memaksaku untuk merasa bersalah seumur hidup.Kasihku, setelah membaca kisahmu aku berfikir, mungkin apa yang menjadi goresan duka kita selama ini akan sedikit terobati jika aku sejenak menceritakan kisah perpisahan kita selama ini. Sebenarnya aku juga menyadari, bahwa apa yang akan aku ceritakan ini tak akan mampu sepenuhnya membaluti luka hatimu. Bukan karena cerita ini aku kisahkan padamu hanya melalui lembaran putih kertas. Tetapi seperti katamu dulu, bahwa kamu tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia lagi. Karena menurutmu kata-kata ternyata tidak mampu untuk mengubah apa-apa. Kasihku, walau demikian benar adanya, namun aku akan mencoba memulai kisah ini dengan penuh harap, semoga kata-kata ini mampu menggetarkan hatimu yang tengah luka.
Kasihku, mungkin kamu masih ingat ketika kamu duduk seorang diri di pantai. Waktu itu senja tengah berdiam pada waktu. Sambil memandangi burung-burung dan pasir yang basah dipantai itu, katamu, engkau pun sempat melihat siluet batu karang sambil mengharap ada bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih di atas batu yang berwarna-warni berhiaskan lokan. Menikmati panorama seperti itu, tiba-tiba saja engkau tersentak melihat cahaya bergetar bersama senja. Waktu itulah kamu tersentak dan mengingatku. Katamu, senja bergetar itu sepertinya cocok buatku. Dan, tanpa berfikir panjang engkau memotong senja itu dengan ukuran sebesar kartu pos lalu berlari menuju mobil.
Kasihku, hal inilah yang sangat perlu kuceritakan padamu. Setibanya aku di rumah saat kamu mengantarkan aku pulang di malam itu, aku langsung menuju kamar tidurku. Aku terperanjat kaget. Saat membuka lebar-lebar daun pintu kamar, tiba-tiba saja mataku silau akibat pijaran cahaya yang memutih. Saat itu pula aku merasa bahwa akulah wanita yang paling istimewa di antara wanita-wanita lain di seantero bumi akibat pijaran cahaya itu. Meski hampir tak dapat melangkah akibat silau mataku, kupaksakan diri untuk melangkah mencari dari mana asal cahaya itu. Tak berselang lama kemudian, di naungan cahaya indah yang sebenarnya telah lama kuidamkan itu, dengan samar-samar aku melihat selembar amplop berwarna putih. Aku yang tak dapat menahan kebahagiaanku saat melihat cahaya itu, kuberanikan diri untuk meraih amplop itu. Hanya beberapa detik di genggamanku, tepi amplop itu perlahan-lahan kusobek dan melihat apa isinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEKUNTUM KENANGAN BUAT SEPOTONG SENJA
Science FictionTerinspirasi dari cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Aji Darma