[1]

693 53 44
                                    

Pedih mana yang lebih buruk, pun sulit terlupa daripada mulut yang kiranya dapat menyayat hati layaknya pisau belati? Tiada senang hidupnya, bocah yang sudah merasakan pahit sedari kecil, tiada pernah ia mengeluh, merutuk, memaki, lantaran hidupnya perih. Dari kandungan ibunya, ia diberi nama Rasid. Ombak, laut, pantai dan perahu sudah menjadi temannya sejak di dalam gendongan amak. Pasir sudah dirasakannya, air laut nan asin sudah menjadi minumannya, terik mentari sudah pernah membakar kulitnya.

"Abaknya pembunuh! Tidak bersuku. Apa pula yang anak itu lakukan di kampung kami?"

Tiada pernah Rasid membalas makian tersebut. Tiada pernah ia mengeluh pada amak atau pun abak dan tiada pernah ia merasa baik.

Sepulang dari sekolah Rasid membantu amak di pinggir pantai menganyam tikar purun sembari menunggu abak pulang dari melaut, mencari kesibukan untuk menghilang kepedihan. Taktala kesedihannya hampir terlupa sore itu, pisau yang menyayat hati itu kembali terdengar. Bukan hanya menusuk hati Rasid, pun terlempar tepat ke dalam hati amak yang lembut itu.

"Oh Uni! Lelakimu itu tidak tahu diri! Ia melakukan tindakan senonoh pada anak si Tini kemudian dibunuhnya. Jangan-jangan anaknya juga sama, tiada berpendidikan!"

Amak marah mendengarnya. Marah bukan lantaran marah pada suaminya. Namun, karena fitnah yang tetangganya lontarkan dengan mulutnya seolah apa yang keluar dari mulutnya tidak akan menyakiti siapa pun.

"Dahlia, jangan kau bicara yang tidak-tidak. Memang benar lelaki saya pernah membunuh seseorang, namun bukan berarti ia melakukan hal seperti yang Dahlia sebutkan tadi. Suami dan anak saya seseorang yang berbudi baik, saya mengenalnya lebih dari siapa pun. Jikalau kau bicara, apa bukti yang kau miliki?"

"Di tepi pantai gandoriah, kau lihat sendiri apa yang suamimu lakukan."

Sedangkan amak menghela napas. Dahlia pergi dengan wajah merah padam. Tanpa diberi tanda, Rasid langsung berlari menuju pantai gandoriah meninggalkan amak di belakang tak kunjung berpindah tempat. Rasid mengambil haluan memotong, kira-kira lima menit dapat ia capai dengan berlari.

Pantai gandoriah penuh dengan orang-orang, polisi pun juga banyak hadir. Di tepi pantai, dekat kapal abak seorang gadis terkulai lemah tidak berdaya. Sedangkan kedua tangan abak terborgol besi.

Rasid beringsut mendekat. Kedua tungkai kakinya sungguh lemas kala melihat wajah abak yang begitu pedih masih menyempatkan untuk tersenyum ke arah Rasid.

"Abak! Apa yang terjadi?" Rasid berteriak saat abak akan dibawa naik ke atas mobil polisi.

Abak tidak menyahut. Hanya terus tersenyum melihat Rasid. Mata milik abak yang biasanya terlihat cerah kini sembab oleh air mata, pun Rasid ikut menangis dibuat abak. Bagi Rasid, abak adalah seorang abak yang terbaik. Ia selalu mengajarkan Rasid cara untuk bersyukur pada hal-hal kecil yang diterima, bersyukur akan waktu dan perjumpaan. Ada kebahagiaan setiap ia melihat abak dengan perahunya mendekati bibir pantai usai berjam-jam melaut, bukan kebahagiaan lantaran berapa banyak ikan yang berhasil abak dapatkan. Namun, kebahagiaan melihat abak dapat kembali bertemu dengannya dan amak. Lantas, perihal tuduhan yang dilontarkan oleh para warga bahwa abak sebenarnya membunuh gadis yang terkulai lemas itu membuat Rasid meraung, sekeras-kerasnya.

Upaya terakhirnya untuk menyelamatkan abak adalah, ia menyerang semua polisi yang berada di tempat kejadian dengan kalap, berlinang air mata karena sudah tak tahu apa yang harus dilakukan seorang remaja 16 tahun ini.

Semua tuduhan itu hanyalah tuduhan palsu yang keluar dari mulut-mulut berkuasa yang tak tahu malu. Sampai mati pun, tanpa perlu abak mengutarakannya, Rasid tahu, abak tidak akan pernah melakukan hal itu lagi.

===

"Rasid, kau tahu. Tuduhan pada abakmu sangat tidak bermoral. Tanpa adanya bukti, tanpa adanya keadilan. Yang lebih banyak bersuara merekalah yang menang. Rasid temanku yang baik, yang kutahu Abakmu hanya menyelamatkan wanita yang terkatung-katung di laut, beberapa orang berkata demikian, namun siapa yang mau percaya pihak seorang mantan pembunuh seperti abakmu? Aku sebagai temanmu, ikut pula bersedih melihat nasibmu yang buruk ini."

"Aku tahu, Zahir. Aku mengenal Abak lebih dari kau mengenalnya, pun orang-orang mengenalnya. Yang kupermasalahkan bukan hidupku yang begitu buruk, yang kupermasalahkan mengapa penderitaan itu dilimpahkan pada amak dan abak."

Rasid bangkit dari atas dipan. Menyuruh Zahir untuk lekas pulang karena matahari telah tumbang. Lantas kakinya terangkat menuju kamar amak, ia mengintip dari celah tirai, melihat amak tengah menatap kosong ke arah jendela usang. Panas sudah matanya melihat.

Tahun demi tahun ia habiskan waktu demi membuktikan abak tidak bersalah. Semua tuduhan itu tanpa bukti. Tahun demi tahun Rasid belajar bagaimana menjadi pembicara yang baik. Ia percaya, kata-kata sungguhlah ajaib adanya.

"Kalian lihat bagaimana dia menyerang salah seorang polisi saat Abaknya ditangkap? Mereka benar-benar keluarga kriminal."

"Dia pasti membantu abaknya, pasti Rasid itu juga bersekongkol."

"Jangan ada yang pernah bebicara dengan amaknya. Amaknya sudah gila semenjak abaknya ditangkap."

Kalimat itu tiada berhenti mampir ke telinga Rasid. Entah saat di sekolah, di pantai, di mana pun. Hidupnya sudah buruk, sebenarnya apa yang mereka inginkan lagi? Hingga pada puncaknya, kemarahan Rasid tak bisa ia bendung.

"Saya anak bapak Ibrahim! Saya anak seorang pembunuh! Ibu saya gila! Lantas apa? Sekarang apa yang kalian harapkan dari caci-cacian itu?! Saya sudah menelan pahit sedari kecil mendengar kalimat-kalimat tajam terus terlontar dari mulut kalian! Tidakkah kalian tahu seberapa sakitnya mendengar kedua orang tua saya terus dizhalimi? Saya katakan kepada kalian semua demi Allah langit melihat semuanya! Dan demi Allah akan saya buktikan mulut pedas kalian akan saya bungkam dengan membongkar semuanya! Saya akan membongkar semua fakta!"

Rasid berlalu dengan suara napas tidak teratur. Matanya berair kala ia mengucapkan kalimat itu dengan lantang di hadapan semua warga. Mereka tiada tahu, seberapa sakitnya kata-kata itu. Dan mereka tiada tahu, seorang Rasid kelak akan menjadi pembicara yang nan hebat, terkenal sepenjuru mata angin. Karena Rasid tahu, kata-kata yang berasal dari mulut seseorang bisa mengubah hidup seorang anak manusia bahkan sebuah keluarga. Keluarga kecilnya dapat luluh lantak hanya karena mulut-mulut yang tidak bertanggung jawab.

.
.

TAMAT.

Vomments pls? I would love to read some comments from you.

Terungku KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang