And the tears come streaming down your face..
"Tembak ! Tembak ! Tembak !"
Suara riuh teman-teman benar-benar memekakkan telingaku. Dan pemuda itu hanya berdiri malu-malu, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Tanpa memikirkan keadaanku tentunya.
"Tembak ! Tembak ! Tembak !"
Aku sudah tidak kuat lagi untuk berada di posisiku tapi kakiku terlalu lemas untuk berlari.
"Kamu mau jadi pacar aku ?"
Sialan. Pertanyaan itu ternyata berhasil keluar juga. Kini, pemuda itu hanya menatap dengan pandangan berharap agar jawabannya seperti yang dia inginkan.
"Iya"
Entah kekuatan darimana yang mampu membuatku berlari. Aku menghambur keluar dari orang-orang yang sekarang bertepuk tangan, merayakan resminya hubungan dua orang itu.
Di tangga dekat kelas, aku mencoba mengusap mataku. Aku tidak ingin menangis. Tidak. Aku bukan anak kecil yang mainannya dirampas orang lain. Aku juga bukan gadis cengeng yang menyianyiakan air matanya begitu saja.
When you lose something you can't replace..
Ardi. Pemuda itu. Dia adalah mantan pacarku, mungkin hanya beberapa waktu yang lalu saat aku masih menjadi "pacarnya". Dan gadis yang mengatakan "iya" itu bukanlah orang lain. Ia adalah temanku, Naya . Orang yang sangat berperan dalam hubunganku.
Aku heran kenapa aku begitu menyukai Ardi, dan menjadi begitu puitis saat aku merasa cemburu. Aku juga heran kenapa saat ia sudah membuatku sedih, saat aku sudah sangat kasar membalas chat-nya. Aku masih saja memikirkan perasaanku.
"Aku mau kok jadi pacar kamu, tapi jangan bilang ke orang lain ya.."
Seharusnya dari kalimat itu saja, aku tahu kalau ia memang tidak berniat sedikit pun denganku. Tapi aku terlalu dimakan ego untuk mengikatnya menjadi milikku. Mungkin tanpa Naya, Ardi tak akan berani mengakui hubungan ini.
Aku pun sudah terlalu bodoh untuk menunggu balasan sms darinya. Menerima alasan kalau ia tak pernah punya cukup pulsa. Atau kenyataan kalau dia punya banyak nomer telepon. Aku bisa saja meragukannya, tapi aku lebih memilih mempercayainya dan akhirnya dikecewakan.
Aku akui, kalau pacaran dengan Ardi sama seperti menyayat diri sendiri. Ia begitu dingin dan tidak peduli. Bahkan untuk membuatnya dapat berbicara selayaknya "pacar" pun adalah hal yang perlu aku paksakan.
Selamat malam, lagi ngapain ? atau ucapan-ucapan lainnya sama sekali tidak pernah kudengar atas inisiatifnya, aku yang memintanya. orang mungkin mengira aku terlalu memaksanya tapi sebenarnya itu adalah ketakutanku jika hunbungan ini hanya status yang bisa dihapus kapan saja.
Semuanya memang sangat manis saat aku tahu bahwa penantianku tidak percuma. Tapi lidahku menjadi kelu untuk merasakan saat manis itu hanya seperti gula pada kopi. Gula yang menutupi pahitnya kopi. Pahitnya kepura-puraan.
Dan nyatanya, semuanya terlalu sia-sia untuk dipertahankan. Namanya juga bertepuk sebelah tangan, tidak akan ngeluarin hasil suara apapun. Sepi dan hancur.
*****
Aku dengar beberapa langkah kaki menghampiriku, aku tahu itu teman-teman yang khawatir. Aku mengerti jika mereka ingin bersimpati padaku, hanya saja kurasa aku perlu sendiri.
"Vi, kamu baik-baik aja kan ? Udah, yang tenang" kata temanku.
Aku hanya tersenyum menandakan aku baik-baik saja, walau aku tahu mataku sudah terlalu basah untuk dibilang baik.
"Sudah, ikhlasin aja. Nanti dapet yang lebih baik kok."
Kalau saja aku bisa, mereka tak perlu memintaku ikhlas, aku akan ikhlas dengan sendirinya. Nyatanya aku tetap saja menghindari ruang kelas dan memilih menangis di tangga. Itu tidak bisa dihitung sebagai 'ikhlas' kan ?
Tangisku akhirnya benar-benar pecah di pelukan teman-temanku dan dengan iringan kata-kata yang memintaku kuat dan sabar. Memang, sebenarnya mereka pun tak cukup kuat untuk aku bagikan rasa sedih. Tapi setidaknya, aku akan tenang.
Aku melepaskan pelukan teman-temanku. Menangis akan terlalu percuma untuk hari yang nyatanya masih panjang. Aku harus mengusap air mataku, kembali kelas dan mengikuti pelajaran terakhir. Aku juga harus pulang, makan siang dan akhirnya mengurung diri di kamar untuk menangis lagi.
"Vina, Vin..." sapa Naya padaku.
"Ya ?"
Aku menolehkan wajahku ke arahnya. Ia menghampiriku dengan raut wajah khawatir. Katakan padaku, apa aku harus marah ?
"Jangan nangis Vi, aku minta maaf.. maaf ya.."
Aku mengangguk dan tersenyum. Ini bukan sepenuhnya kesalahannya, tak ada yang harus aku perbesar lagi. Semuanya harus berjalan sebaik dulu lagi. Aku telah kehilangan Ardi, tapi tidak dengan Naya. Ia tetap teman baikku.
"Nggak apa-apa Na, aku baik-baik aja."
Aku berbohong.
Yang aku tahu, semuanya sudah berjalan. Baik tentang aku, Naya ataupun Ardi. Tidak ada yang perlu aku ragukan, ini hanya salah satu rintangan dari sekian yang akan aku hadapi. Jika aku hancur sekarang, maka perjalanannya tak akan berakhir.
*****
"Vi, kamu bisa bawa motor ? Kalau enggak nanti aku yang nganterin pulang."
Tawaran temanku bagus juga tapi aku menggeleng. Aku tidak ingin menjadi terlalu lemah. Kurasa mengendarai sepeda motor hanya perlu mata untuk melihat jalan dan tangan untuk menarik gas atau rem. Jika mengendarai motor perlu perasaan, aku akan menyerah.
Pulang adalah pilihan yang tepat saat ini. Memang siapa yang tahan di sekolah setelah menghadapi guncangan batin seperti tadi ? Aku hanya perlu menyiapkan alasan jika ditanya soal mataku yang mengembang ini.
When you love someone but it goes to waste..
Could it be worse ?Aku tersadar. Kejadian ini begitu buram dan harus aku abaikan. Mencari alur hidup yang jauh lebih menyenangkan dan mulai menata hatiku. Lupakan saja tentang perasaan, harapan, penantian dan perjuangan yang telah musnah itu. Aku akan bangkit dan berlari, sejauh yang tak pernah aku kira.
Tapi nyatanya, aku pun masih takut. Takut saat semuanya kembali dan menyerang dinding goyah yang ku buat. Akankah aku jadi lebih kuat ?
***END***
Makasih banyak buat yang udah mau baca oneshoot ini.. jangan lupa vote dan comment !
Ngomong-ngomong, ini kisah nyatanya temen author.
oiz,,
KAMU SEDANG MEMBACA
Never mind.
Teen FictionKenyataannya, dia memang bukan untukku . . . . . Oneshoot - based on true story