Menguping Senja (Ngelantur)

32 1 0
                                    

Senja berkaca di cermin pojok ruang sebelah sana. Dia seperi bermonolog diri, entahlah. Sayup-sayup aku mendengar suaranya. Dia bergundah sepertinya dan dia seperti mengoceh layaknya sepur yang hendak berangkat di stasiun.
Dengarkan saja apa ya? Aku bertanya. Dan aku putuskan aku mendengarkan. Aku memang penguping sejati, iya penguping urusan yang bukan urusanku. Tapi bukankah banyak orang bertingkah sepertiku? Jadi aku tidak salah bukan. Lagipula urusan salah dan benar itu hanya persepsi orang saja. Akupun tertawa. Aku sudah seperti ini rupanya, sudah seperti yang lainnya. Halah, aku malah fokus dengan diriku hingga kelupaan menguping monolog Senja. Akupun menoleh ke arah Senja, dan tidak aku temukan dia. Sial, Senja telah menghilang, sudah berganti Malam rupanya.
Akupun ketinggalan, inilah keburukan tidak tahu mana prioritas, akhirnya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Sudahlah, akupun beranjak keluar dari ruangan menuju dunia luar. Benarlah malam sudah datang dengan membawa kemerlap bintang. Kerlap kerlip, dan akupun senang hingga aku lupa niat awal.
Awalnya aku hanya ingin menguping monolog Senja, eh malah aku keasyikan mendalang. Ini kalau mendalang wayang, ya aku dalangkan malah diri aku sendiri. Gilanya aku, mungkin segila kamu yang sedang jatuh cinta membabi buta hingga tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Tapi cinta memang membutakan bukan. Halah aku ini malah ngelantur saja. Melanturkan omongan kosong kayak tong sampah kosong, terlalu nyari bunyinya yang tak ada maknanya. Lalalalala, inilah hidup aku bung. Aku kadang suka melantur kemana-mana merajalela imajiku untuk membahagiakan keingin tahuanku akan segala hal, termasuk kamu.
Kamu cukup nikmati aku yang gila melantur karenamu dengan segala hal yang kamu agungkan seperti kewarasan. Jika tidak kamu agungkan, dia akan meninggalkan kamu pecah berkeping. Apa kamu mau? Tidakkan. Jadi jangan tinggalkan, cukup agungkan biar dia tahan sama kamu. Aku ini hanya berpesan hlo, jangan diambil hati terlalu tetapi. Diambil sebagian, diamalkan dan dijalankan tapi mbok ya jangan seperti pengamalan pancasilamu yang masih belum sepenuhnya itu. Jangan pula seperti ajaran agama yang kamu junjung tinggi. Cukupkan agungkan seperlunya jangan terlalu menggantungkannya, bukankan jika terlalu yang berlebihan akan menimbulkan kesakitan. Hidup itu tidak semulus pahamu hlo, yang mulus tanpa bekas luka karena kamu tutup dengan pakaian. Ada terjalnya, seperti jalan setapak di dusun sebelah yang pernah kita lalui bersama pada senja kala itu. Halah mesti kamu sudah lupa tho, ini kan hanya kenangan yang seperti figuran numpang lewat aja. Cuma wus, terus ilang. Halah wes wes, jangan dengarkan. Hla to, aku ngelantur lagi.
Sudahlah, aku hanya ingin mengejar Senja. Mungkin besok kamu dan aku bisa bertemu Senja. Mungkin juga bisa menelusuri jalan terjal dusun itu kembali apa jalan yang lain, sebab ada berjuta jalan di muka bumi yang belum kita lalui.
Maafkan aku, aku bosan melantur apalagi dengan kamu. Aku takut kamu menganggap aku gila. Segila aku malam itu, yang bilang otakku kabur dibawa terbang burung saat kamu bertanya hal yang tak aku mengerti. Kamu ini juga, tanya kok hal yang tidak aku mengerti. Coba kamu tanya hal remeh temeh, pasti aku jawab. Apalagi jika kamu tanya hal ngelantur, mesti aku pinter jawabnya. Aku ini kan tukang ngelantur.
Sudahlah aku pergi, akupun berlari di tengah sunyinya malam. Aku memburu Senja lagi. Kamu cukupku melihatku dari sana, dari pojok situ. Oke jangan nakal, hingga aku kembali esok hari. Akupun melambaikan tangan padamu. Kamupun ikut melambai. Mungkin bagimu, aku dagelan yang lucu, mungkin juga orang gila yang numpang lewat. Tapi aku persetan tak pedulikan semua. Karena aku ngelantur dan pemburu Senja. Haha Senja where are you, now?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan oretanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang