BAB 1

599 20 2
                                    

"Kau yakin ini legal?" gumam pria kulit putih yang bertubuh atletis, rambut lurus acak-acakan berwarna coklat gelap, usia sekitar 40 tahun, tinggi 188 cm, dengan bahasa Indonesia yang kaku tanpa mengangkat muka dari lembar kertas yang dipegang dengan kedua tangannya yang gemetar. Bukan disebabkan udara malam perkebunan yang dingin dan bertambah dingin dengan turunnya hujan sehingga dinginna sampai ke sumsum tulang. Wajahnya yang tampan dengan dagu tirus dan hidung yang mancung, khas Eropa Latin, diterangi hanya satu-satunya bohlam lampu 60 watt yang lebih banyak memberikan bayangan daripada cahaya dalam kamar berukuran 4 x 6 meter itu, menunjukkan keraguan.

"Seratus persen asli," jawab pria di depannya, seorang lelaki dengan tinggi 165 cm, berbadan tambun, mungkin sekitar 90 kg. Kulitnya agak gelap dan hidungnya yang besar, patut diduga dalam tubuhnya mengalir campuran darah suku Tamil dari India. Tapi mungkin juga sepenuhnya suku Melayu asli.

"Something wrong, caro mio?" tanya seorang perempuan muda bertubuh mungil, sekitar 28 tahun, wajahnya cukup cantik, layak berada di sampul depan majalah. Inggris dan Itali campur aduk dalam logat Sunda. Ia menggendong sesuatu, tepatnya seorang bayi mungil merah, yang tertidur tanpa suara. Bayi laki-laki yang tampan, kulit putih dengan rambut hitam yang tipis. Dari cara menggendongnya, terlihat sikap yang melindungi dan kasih sayang memancar dari mata wanita itu.

Pria kulit putih itu tak menjawab atau mengangkat wajahnya dan tetap menatap lembar kertas berukuran folio di tangannya. Pikirannya melayang ke masa tiga tahun silam.

***

Luigi Cavallaro sedang memeriksa laporan pembukuan perusahaan di ruangan kantornya yang sempit namun dengan pemandangan seluas-luasnya ke arah Vieux Port, pelabuhan Marseilles yang hiruk pikuk dengan teriakan para pelaut dan nelayan dalam berbagai bahasa yang masih aktif di muka bumi, celoteh camar-camar yang memekik di atas permukaan air laut yang tenang bergelombang menggempur tepi pantai dengan alunan tetap. Tiang-tiang layar perahu nelayan dan gerombolan kapal pesiar berbagai ukuran milik para petualang, penyelundup, mafioso atau pejudi yang baru datang dari Monte Carlo menutup permukaan laut seperti mobil bekas yang diparkir di halaman showroom Autorama di Rue Pierre. Agak di tengah laut tampak beberapa kapal barang besar dan tanker raksasa yang datang dari seluruh penjuru dunia melintasi tujuh samudra, berhenti di Marseilles untuk bongkar muat atau mengisi bahan bakar dan suplai. Sebuah kapal pesiar besar, Awani Dream, sedang melabuh di tengah laut. Luigi pernah ikut pelayarannya sebagai juru masak saat nama baptis kapal tersebut World Renaissance. Masa lalu, pikirnya.

Dan tiba-tiba dadanya sesak. Seakan-akan udara disedot habis dari paru-parunya dan jantungnya diremas-remas oleh tangan perkasa yang tak terlihat.

Mario! Sesuatu telah terjadi terhadap Mario! teriaknya tanpa suara.

Dan mendadak pintu ruang kerjanya terbuka. Nadia Konte, sekretarisnya menyerbu masuk dan berbisik, "Sambungan internasional dari Jakarta, Indonesia."

"Anda baik-baik saja?" tanya Nadia dengan suara cemas sambil memegang tangan kirinya, membimbing bos-nya yang tampak pucat dan terengah-engah memegang dadanya, duduk di sofa pendek dekat pintu. Ia mengisi gelas dengan air dari dispenser yang terletak di dinding pojok dan bergegas menyodorkannya pada Luigi, yang meneguknya dengan rakus. Dalam hitungan detik darah kembali mengalir di wajahnya dan napasnya kembali normal.

"Sambungkan ke mejaku," perintahnya kepada Nadia dan bangkit berjalan ke meja kerjanya. Meja ukuran setengah kabinet yang dijual bongkar-pasang produksi masal sebuah pabrik di Malaysia atau Vietnam, mungkin. Nadia keluar dan tak lupa menutup pintu. Lampu di telponnya berkedip menandakan Nadia telah meneruskan panggilan dari Jakarta, Indonesia itu. Tangannya kanannya mengangkat telepon dan tangan kiri memutar-mutar bola dunia berukuran sedang yang terletak di samping telepon.

Bunian MetropolitanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang