Chapter 2

24 2 3
                                    

These days, I haven't been sleeping. Staying up, playing back myself leaving.

Back to December – Taylor Swift


"Bunda! Aku gak mau kebumi! Ayolah bun! Di bumi pasti membosankan!" protes seorang anak perempuan kepada bundanya.

"Herim, dengerin bunda ya, lingkungan kita lagi nggak aman sekarang. Kamu harus pergi dari sini. Kamu harus ke bumi, Herim! Bunda sama ayah udah memikirkannya dengan baik-baik. Tolong hargai bunda!" ucap bundanya itu.

"Tapi, bun, kenapa harus aku sendiri? Aku gak bakal bisa hidup bun! Aku gak tahu mau ngapain di bumi!" protes Herim kepada bundanya itu.

"Ini ada kalung. Kalo dia bersinar dan berwarna biru. Kamu akan pulang satu bulan setelahnya. Jika dia bersinar warna merah, kamu akan pulang satu minggu setelahnya." ucap bundanya.

"Ini aja gak bakal bantu bun!" ucap Herim masih bersih keras untuk tetap tinggal.

"Herim, bunda janji, kamu bakal betah disana. Dan kamu akan pulang secepatnya." ucap bundanya meyakinkan.

Herim masuk ke kamarnya dengan kesal. Ia tak habis pikir tentang keputusan kedua orang tuanya. Ia menjatuhkan badannya di atas kasur. Ini terakhir kalinya dia merasakan nyamannya kasurnya itu. Besok ia akan dikirim dibumi.

"AA!" kesal Herim ketika ia memikirkan bagaimana nasibnya ketika berada di bumi.

'Kalian pasti berpikir tidak ada kehidupan selain di bumi kan? Jika iya, kalian itu salah. Aku dan keluargaku hidup tenang disini. Kehidupan kami tidak terlalu berbeda dengan kehidupan dibumi. Aku sering berkunjung ke bumi. Dan ini lah kelebihan kami. Kami bisa saja berkunjung ke bumi setahun sekali –waktu bumi-, tetapi kami tidak terlihat. Kalian tidak percayakan?' – Herim

***

Herim membuka matanya dengan pelan. Ia berharap bahwa ia masih berada dikasurnya. Satu yang aneh. Ia terduduk.

"Ah!" pekiknya ketika ia mendapati dirinya sedang tidak berada di kasurnya. Ia berada di.. toilet. Ia menutup mulutnya dengan ketidak percayaan. Ia mencoba mendorong pintunya, akan tetapi pintunya tidak terbuka. "Ah, ini gimana?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Ini gak bisa dibuka!" ucapnya lagi.

Di tempat asalnya memang tidak ada benda seperti pintu. Mereka hanya mengunakan alat semacam tirai untuk menutupi ruangan.

Ia kembali tertuduk di tempat sebelumnya. Ia mencoba mengingat apa yang manusia lakukan jika berada di tempat menjijikan ini. Ia melihat pintu itu lagi.

"Mungkin, caranya.." gumamnya pelan. Ia memutar kunci yang berada di depannya. Berhasil. Ia berhasil memutarnya, tetapi pintu belum mau terbuka. Ia mendorong pintu itu. "Kenapa masih gak mau kebuka?!" protesnya lagi.

Ia membuang napasnya berat. Dalam hati ia terus mengingat bagaimana cara manusia menggunakan alat di depannya itu. Ia mendapatkan satu ingatan ketika ia berkunjung ke bumi. Ia melihat manusia memutar kenop pintu.

Dengan penuh harapan, ia melakukan apa yang manusia lakukan. Kenopnya terputar, tapi pintunya masih belum bisa terbuka. Ia mendorongnya keluar. Herim tak kehabisan akal. Ia mencoba menarik pintu itu. Pintu itu terbuka.

"Yes! Pintu nya terbuka!" ucapnya girang. Ketika keluar, ia mendapati pantulan dirinya. Ia mendekat. Lalu ia tersenyum terhadap pantulan cahaya itu. "Jadi seperti ini manusia melihat dirinya sendiri." ucapnya lalu tersenyum.

Rasa ingin tahu Herim sangat tinggi. Ia melihat keran air yang berada di depannya. Tentu saja ia juga penasaran apa yang bisa dilakukan oleh benda itu. Ia lalu memutarnya. Air pun keluar dari tempat itu. Herim mencoba membaurkan tangannya dengan air tersebut. Ia tersenyum lagi. Baru dua puluh menit ia berada di bumi, tapi ia sudah bisa menemukan banyak hal, menurutnya.

Ia merasa bosan. Ia mencoba keluar. Lagi-lagi Herim tersenyum puas. Ia melihat pintu kaca yang berada di depannya. "Aku gak bakal ketipu lagi!" ucapnya lalu membuka pintu tersebut.

Ia keluar tanpa mematikan keran dan ia juga tidak menutup kembali pintu kaca itu.

Tentu saja Herim berjalan tanpa tujuan. Dan mungkin beberapa orang yang melihatnya, akan berpikir bahwa ia adalah salah satu pasien dari pengendalian jiwa. Ya, Herim berada di rumah sakit sekarang. Dilihat dari pakaiannya, berwarna putih polos menutupi badannya sampai lutut, dan tangan panjang. Ia juga tidak memakai alas kaki. Rambutnya juga berantak. Ia tersenyum kepada semua orang, lalu cemberut kembali.

Herim berjalan dan berakhir di sebuah kursi taman. Ia duduk dengan pendangan kosong. Ia tak tahu apa-apa. Ia merasa ada beban. Karena beban itu, membuat Herim terjatuh dan tertidur di kursi taman.

Tak berapa lama kemudian, muncul seorang lelaki di hadapannya. Pandangannya yang semula kosong, langsung teralih ke mata lelaki itu lalu tersenyum dan terduduk dengan gerakan yang sangat cepat.

"Hwaa!" teriak lelaki itu, yang tak lain adalah Bian.

Herim melambaikan tangannya ke arah Bian. Bian bingung dengan reaksi Herim. Ia menunjukan dirinya sendiri. Lalu Herim tersenyum lebih lebar lagi.

"Lo, siapa?" tanyanya.

Herim hanya tersenyum ke arahnya.

"Sakit jiwa lo, ya." ucap Bian lalu berniat pergi meninggalkan Herim. Tapi Herim menahan tangannya. Bian yang bingung menatap tangannya yang di pegang sama Herim. "Lo mau apa?" tanyanya.

"Herim. Nama kamu siapa?" ucapnya seraya mengulurkan tangannya. Bian yang masih bingung hanya menatap tangan Herim yang masih melayang di depannya. Ia menyimpulkan sesuatu di kepalanya sekarang. Wanita yang ada di depannya adalah seseorang dengan penyakit gila yang akut.

Bian membuang napasnya dengan kasar. Ia memutuskan untuk pergi meninggalkan gadis gila itu. Suatu hal yang tidak di duga terjadi. Entah apa ini hanya perasaan Bian saja atau bagaimana. Wanita gila itu mengikutinya? Karna penasaraan akan perasaannya, ia membalikan tubuhnya. Dan benar saja, ia menemui wanita gila itu berada di belakangnya seraya tersenyum. Bian melanjutkan jalannya. Tetapi masih saja ia diikuti oleh wanita gila itu.

Dengan terus berjalan penuh kekesalan, Bian tiba-tiba terhenti di persimpangan ia tiba-tiba lupa harus berjalan kemana. Dan saat ini, ia merasa benar-benar bodoh. Akhirnya, ia memilih jalan yang menurutnya benar. Tiba-tiba, sebuah tangan mungil menyentuh lengannya. Menariknya dengan penuh semangat menuju suatu jalan. Bian yang bingung membulatkan matanya dengan sempurna ketika tahu apa yang baru terjadi pada dirinya. "Lo gila ya!" bentaknya. Karna tak ada respon, ia menghentikan langkahnya. "Lo apa-apan sih? Lo siapa itu siapa hah? Asal narik tangan gue aja." ucapnya kesal.

Dengan senyum manisnya, Herim, ya, Herim orang yang menarik tangan Bian, itu, ia mengatakan, "Jalannya kesana!" ucapnya. Bian terdiam melihat kelakuan gadis gila yang ada di depannya ini. "Jalannya kesana! Ikut aku!" ucap Herim lagi.

"Apaan sih lo!" ucap Bian kesal. Herim menarik lagi tangan Bian. Ia menarik tidak terlalu jauh. Setelah berhenti, Herim menunjuk ke sebuah ruangan. Bian terdiam ketika ia melihat ke arah yang ditunjuk oleh Herim. "Lo.. tahu.. darimana?" tanyanya dengan gugup. Kenapa gue mesti gugup!, ucapnya sesaat setelah ia menanyakan hal tersebut.

"Aku benar kan!" ucap Herim dengan semangat.

Bian terdiam menatap Herim yang sedang tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya lalu memasuki kamarnya itu. Sebenarnya, Herim hanya menebak saja dan mengikuti feeling-nya. Herim ikut masuk kedalam mengikuti punggung Bian.

"Lo ngapain sih?" tanya Bian. Kali ini ia tidak terlalu membentak. Karna kalo dipikir-pikir, jika tidak ada Herim, mungkin ia sudah tersesat.

"Aku tidur disini ya!"

"HAH?!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hi! Sylph?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang