Wait for You

106 7 0
                                    

"Teresa," panggilnya.

Aku mendongak memandangnya. Manik-manik mata kami bertemu. Dia tersenyum menatapku hingga memunculkan lesung pipinya. Membuatku tak tahan untuk membalas senyumannya.

Tuhan memang Maha Pemberi Rupa, dapat menciptakan makhluk sesempurna dia. Berbadan tegap dan tinggi, walau tidak berotot. Dengan rambut spiky hitamnya yang sedikit berantakan akibat hembusan angin. Membuat tiap kaum hawa yang melihatnya tak bisa menahan air liurnya. Ditambah lagi senyum manis yang selalu memunculkan sepasang lesung pipinya.

Ah, aku jadi merasa tak pantas bersanding di dekatnya. Bagaimana bisa dia mau dengan gadis cupu berkacamata sepertiku?

"Kamu ngalamun lagi," ujarnya dengan nada yang dibuat-buat sebal. Sungguh menggemaskan. "Keenakan tuh tiduran di pangkuanku."

Seketika pipiku merah muda. Sungguh munafik kalau aku berkata aku tidak menikmati momen seperti ini. Berdua dengannya di bibir pantai ketika mentari hendak kembali ke ufuk barat. Memancarkan cahaya keorangean yang menyebar ke seluruh penjuru arah. Dengan posisi aku yang tengah tertidur berbantalkan kakinya.

"Kalau terus melamun, aku cium baru tau rasa kamu," ancamnya. Membuatku membulatkan mata sempurna. Lagi-lagi, pipiku merona.

Aku memukul dadanya. Sedangkan dia hanya terkekeh melihat reaksiku. "Jangan menggodaku, Excel."

Baiklah, dia sangat menyebalkan kalau sedang seperti ini. Selalu saja terkekeh bahkan sampai terbahak tiap kali melihatku merona karena ulahnya. Dia suka sekali menggodaku hanya untuk dijadikannya bawan tertawaan. Lucu, katanya. Padahal menurutku tidak.

"Kamu tadi mau bicara apa? Gak usah ketawa terus." Aku mendengus kesal, dan ia langsung menetralkan ekspresinya.

Kini, ia menatapku lekat-lekat. Seolah tengah berusaha memcari sesuatu—entah apa. Hal itu mau tak mau membuatku ikut menatapnya. Dalam sekali. Ya Tuhan, mata indah itu selalu saja menghipnotisku.

"Maaf," ucapnya singkat. Lalu, segera mengalihkan pandangannya dariku.

Aku mengernyit penuh tanda tanya. Tidak biasanya dia bersikap seperti itu. "Apa maksudmu, Cel?" tanyaku.

"Maaf, aku tidak bisa menepati janji kita." Dia menjawab tanpa mau memandangku kembali. Tatapannya kosong ke arah laut lepas.

Segera aku bangkit, dan duduk menghadapnya. Mencari-cari di mana kini pandanganya tertuju. Namun nihil, yang ada hanya kehampaan. Di mana dia sekarang ini?

"Janji apa, Excel?" tanyaku lagi.

Sedetik setelahnya, air mukanya berubah. Dia terlihat kesal. Dia mendengus, dan segera menatapku tajam. Kini, aku merasa dikuliti hidup-hidup.

"Kamu bahkan nggak ingat? Dasar," gumamnya.

"Maaf," ujarku, "kita membuat terlalu banyak janji: Janji untuk saling melengkapi; janji untuk saling menerima perbedaan; janji untuk terus bersama—"

"Semuanya, Te," potongnya tegas.

Aku mengatupkan mulutku rapat-rapat. Memandang nanar ke arahnya. Kepalaku terasa berputar-putar. Aku tidak dapat mencerna semuanya baik-baik. Apa maksudnya?

Seolah tahu akan kebingunganku, dia segera menjelaskan, "Kita tidak bisa masuk universitas yang sama, Te. Bunda menyuruhku untuk meneruskan studi di luar kota...."

"Dan aku akan mendaftar ke sana," sahutku.

"Sekali pun itu adalah sekolah pelayaran?" tanyanya, berhasil membuatku diam seribu bahasa. Membeku di tempat seketika.

"Kamu..."

Dia tersenyum manis seraya mengelus lembut rambutku. "Sudah kuduga," gumamnya lirih. "Kamu nggak perlu mengekor padaku, Te. Cari jalanmu sendiri, Sayang."

Wait for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang