1회

26 0 0
                                    

[Im Soojung]

Wanginya roti bakar buatan ibuku membangunkanku pagi ini. Hmm, kalau bukan karena wangi roti bakar itu, aku pasti tak akan bangun. Malas sekali membayangkan belajar di sekolah! Kalau saja dengan tidur dan bermalas malasan sudah membuatku pintar dan menghasilkan uang, aku nggak akan mau sekolah.

Terlalu banyak mengeluh membuat sarapanku jadi terlambat, sudahlah aku harus bergegas bangun dan menyantap sarapan bagianku sebelum dihabiskan oleh adik laki - lakiku yang sangat tengil itu.

Cepat - cepat aku mandi dan memakai seragamku. Siapa pun yang merancang seragam ini benar - benar menyebalkan! Persetan dengan fashion! Rok sependek ini membuatku menggigil bahkan pada saat Busan sedang panas dan sangat tidak nyaman. Jadi aku memakai celana olahraga untuk mengantisipasi dingin dan membebaskan ruang gerak.

"Noona! Kalau noona tidak turun dalam hitungan kelima, noona berangkat dengan perut lapar!"

Tuhkan! Cepat -cepat kuselesaikan pekerjaanku memakai celana, mengikat rambut asal - asalan, lalu menggendong ranselku di punggung sebelum berlari ke ruang makan yang berada satu lantai di bawah kamarku itu.

Mau sarapan aja harus berjuang begini. Nasib. Untung saja aku tiba pada hitungan kedua, terima kasih Tuhan, adikku menghitung cukup lambat, atau entahlah mungkin aku memang kelewat cepat. Bakat.

"Min Jae-ya, kau ini sudah ibu buatkan bekal, jangan jahat begitu pada noona-mu" aku hanya bisa tersenyum menang mendengar pembelaan ibuku.

Tidak masalah soal perbedaan namaku dan adikku yang jauh begitu, orang tuaku memang tidak kreatif. Meskipun aku lumayan sedih karena tidak bisa kembar - kembaran nama seperti adik-kakak lainnya. Setengil apa pun adikku, dia tetap punya sisi lucu dan aku menyayanginya kok.

Aku menghabiskan sarapanku sambil melamunkan hal itu. Pagi hari ini sungguh kuhabiskan untuk hal - hal yang tidak penting.

Bukan hanya saat sarapan, tapi juga saat istirahat di sekolah. Aku sudah biasa jadi penunggu balkon sekolah kalau ada pelajaran yang membuatku malas belajar. Seperti hari ini. Namun aku kabur ke sini karena aku menginginkan ketenangan! Kenapa malah ada suara ribut sih?

Suara berdebum yang keras, diikuti erangan kesakitan, kemudian suara pukulan dan tendangan, diikuti suara batuk. Ah! Aku tak kuat lagi, aku langsung menghampiri keributan yang hanya dipisahkan sebuah tembok dariku itu.

"Apa yang kalian lakukan?!" Seruku keras dengan mata yang aku yakin sudah berkilat kilat penuh amarah seperti pada komik manga.

Aktivitas mereka seketika terhenti dan perhatian mereka berganti tertuju padaku. Sial, mereka ternyata bertiga. Tiga lawan satu. Pengecut.

"Kau berani? Wanita sepertimu bisa mati dengan sekali hentak!" Seru salah satu dari mereka yang sama sekali tidak menggoyahkanku.

"Rupanya kalian tidak tahu reputasiku." Sahutku sombong.

"Oke, buktikan saja"

Mereka pun mendekat. Duh, aku bukannya sama sekali tak punya rasa takut. Mendadak jantungku jadi bertalu - talu begini semakin mereka mendekat.

Hingga akhirnya mereka mulai menyerangku, dan aku balas menyerang mereka yang langsung mengeroyokku. Bertiga. Pengecut!

Bayangan wajah laki - laki berkacamata yang sudah berdarah - darah tadi menjadi sumber kekuatanku sekarang.

Sebisa mungkin aku menangkis pukulan mereka namun sial, tenaga mereka tenaga tiga laki - laki yang dijadikan satu. Aku belum pernah melatih lawan tiga cowok sekaligus.

Lama - lama tenagaku habis juga karena menangkal serangan mereka. Tiba - tiba saja tulang keringku diserang rasa sakit yang luar biasa hebat. Tanpa sadar aku sudah tersungkur. Sial, sakit sekali. Mereka masih menambahkan beberapa tendangan sebagai bonus.

"Reputasi apa yang kau maksud?" Tanya mereka meremehkanku. Aku hanya bisa diam dan menunggu mereka pergi.

Lalu aku hadiahkan mereka masing-masing satu tendangan yang memang tidak terlihat keren - keren amat, tapi aku tahu mereka kesakitan.

"Kau masih berani, hah?!" Salah satu dari mereka menantang dengan sebal.

"Sudah kalian pergi saja sana! Kau mau kulaporkan guru?! Mati saja sana!" Teriakku sebal, menyisakan rasa perih di pipiku.

Mereka tidak bicara lagi kemudian meninggalkan tatapan sengit terakhirnya padaku sebelum pergi. Menggelikan.

"Pipimu.. berdarah." Suara seorang laki-laki berkata lirih di belakangku. Ya, seorang cowok yang kuselamatkan.

Aku berjalan mendekatinya yang sedang terduduk lemas, namun aku tetap berdiri dan tidak menyejajarkan diriku dengannya. Lututku perih.

"Ya, ya aku tahu. Karena aku merasa perih di bagian pipiku. Terima kasih." Jawabku kemudian.

"Terima kasih! Aku yang harus mengucapkannya!" Ia terburu buru mengatakan itu sehingga ia harus meringis kesakitan sesudahnya.

Lukanya lebih parah daripada yang tadi kulihat. Pelipisnya banyak mengeluarkan darah, demikian ujung bibirnya, beberapa lebam mungkin belum terlalu kelihatan karena masih baru. Dia mengalami sakit yang jauh lebih parah dari aku.

Dasar anak - anak brandalan tak berguna! Buat apa sih mereka mengeroyok anak ini?

"Sebenarnya kau siapa? Aku belum pernah melihatmu." Tanyaku penasaran.

"Jung Daehyun. Kelas dua belas. Aku pindahan dari Gwangju." Ucapnya pelan sekali. Oke, aku mengerti keadaan lukanya. Kebetulan telingaku juga baru dibersihkan.

"Oh, begitu ya? Aku Im Soojung. Kita sama - sama kelas dua belas."

"Senang bertemu denganmu."

"Ya, ya."

Aku merogoh saku blazerku dan mengambil sapu tanganku dari sana.

"Seka lukamu pakai ini dulu supaya tidak infeksi, kau tahu letak UKS di mana kan? Kau bisa ke sana sendiri." Kataku sambil menyodorkan sapu tangan itu.

"Kurasa.. kau juga butuh sapu tangan itu dan UKS.."

"Ah tidak perlu. Cepat terima saja. Dan juga, kalau lain kali ada kasus seperti ini lagi, kau harus berani melawan. Mengerti?" Akhirnya kulemparkan saja sapu tangan itu ke arahnya, lalu aku pergi.

Dengan cara se-biasa mungkin seperti tidak kesakitan. Padahal sakit banget dan, pipiku... demi Tuhan aku kan wanita! Sedih sekali punya bekas luka di wajah.

Hal ini hal paling tidak penting yang aku lakukan hari ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 24, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang