Tegar
Hai, namaku Ikhlas Prihatin. Orang tuaku memberiku nama demikian karena saat aku dilahirkan keadaan kami memang sedang susah. Ayahku yang buruh pabrik saos kena phk karena perusahaan kolaps. Hanya dari penghasilan ibuku sebagai buruh cucilah kami dapat menyambung hidup. Dengan memberi nama tersebut, orang tuaku berharap aku selalu ikhlas dengan segala keprihatinan yang terjadi pada kami. Masa kecilku memang benar2 menyedihkan. Ayahku yang waktu itu bekerja serabutan tak mampu menyekolahkan aku lebih tinggi lagi. Saat anak-anak seusiaku riang gembira berangkat ke sekolah dengan seragam biru putih kebanggaannya, aku harus puas hanya sempat memakai seragam merah putih...warna yang sama dengan bendera kebangsaan kita. Memang bukan hanya aku yang bernasib seperti ini. Ada banyak anak sepertiku di desa miskin ini. Aku menyebut diriku beserta anak-anak sepertiku ini laskar merah putih. Memang sepertinya nama itu sangat gagah, bercitra nasionalisme, tapi sekaligus menyedihkan dan dekat dengan kebodohan. Bagaimana mungkin kami yang lulusan SD ini mampu bersaing dengan mereka yang SMK, SMA, dan bahkan Sarjana. Saat otak-otak para sarjana memikirkan dengan sistematis langkah-langkah hidupnya, otak kami hanya mampu memikirkan bagaimana cara bertahan hidup hari ini, yang lain tidak. Eh iya, aku juga punya sahabat. Setiap hari aku menggunakannya untuk membabat rumput dan gulma di kebun milik para juragan di desaku. Sahabatku ini kuberi nama tegar. Dia sangat tajam karena sering aku asah. Aku sangat menyayangi sahabatku ini. Entah apa yang terjadi jika tegar tidak di sisiku.
Hari ini, tepat di ulang tahunku yang ke 17, ayahku dipanggil Yang Kuasa. Ayah dipanggil saat sedang bekerja serabutan sebagai tukang batu di tebing desa sebelah. Tebing batu yang selalu dieksplorasi itu longsor, menimpa beliau dan beberapa rekannya Mungkin tebing itu sudah tak kuat lagi disandari oleh begitu banyaknya orang miskin seperti kami. Ibu dan ketiga adikku menangis sejadi-jadinya. Hanya aku yang kelihatan tegar, padahal hatiku juga menangis. Aku tak mau kelihatan cengeng dan menghianati nama pemberian ayahku. Aku sempat melihat senyum di bibir kaku ayahku, seakan berpesan kepadaku untuk meneruskan perjuangannya demi keluarga. Ya, dengan berpulangnya ayahku otomatis beban keluarga ada di pundakku. Semoga otak bodohku sanggup memberikan jalan keluar masalahku ini. Sebab jika hanya mengandalkan tegar sahabatku ini sungguh sulit untuk menghidupi kami sekeluarga, ditambah lagi sekarang ibuku sakit-sakitan. Belum genap 40 hari sejak kematian ayahku, aku bertekad pergi ke kota untuk mengadu nasib. Dengan berat hati, aku meninggalkan ibu dan adik-adiku di kampung. Aku berangkat dengan uang hasil tabunganku, ditambah pinjam tetangga. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus berhasil. Tak lupa pula aku membawa tegar, karena aku tak pernah berpisah dengannya selama ini.
Aku tiba di kota. Sungguh asing sekali suasana di sini. Tak ada rumput yang harus dibabat, tak ada kerbau yang harus dimandikan, tak ada anak-anak bermain gobak sodor. Orang-orang di sini seakan dikejar waktu, berlari begitu cepat mengejar masa depan yang belum bernama. Orang-orang yang tak sanggup berlari secepat itu, harus rela tersingkir dari persaingan. Orang-orang berdasi itu sepertinya juga tidak melihat manusia-manusia seperti aku. Hanya sedikit yang peduli pada kaum marjinal seperti aku, selebihnya merasa jijik pada kebodohan dan kedekilan pakaian kami. Hidup di kota ternyata sungguh berat. Sudah hampir sebulan aku di sini dan belum juga mendapat kerja. Uang simpananku sudah semakin menipis, ditambah lagi harus membayar uang sewa kamar busuk ini. Sebab, jika tak dibayar aku harus rela diusir oleh pemiliknya dan kemungkinan akan hidup menggelandang. Tak ada gunanya lagi UUD 45 pasal 34 ayat 1 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Sekarang kegunaan fakir miskin hanyalah sebagai ajang mencari simpati publik saat pemilu maupun saat-saat pemilihan kepala daerah. Orang-orang tengik itu tak benar-benar memperhatikan rakyat miskin. Saat tujuan mereka tercapai, orang-orang seperti kami akan segera dilupakan. Otak bodohku yang semakin bodoh karena kekurangan nutrisi semakin pusing memikirkan beban hidupku. Sial, saat orang-orang marjinal seperti aku ini setengah hidup setengah mati, para penipu berjas semakin gencar saja melakukan aksinya merampok uang negara. Ya, korupsi memang sudah menjadi tradisi di negara bobrok ini. Andai saja mereka tidak korupsi, mungkin saja negara punya uang untuk membangun desa-desa miskin seperti desaku, menciptakan lapangan kerja disana dan aku tak perlu berada di tempat busuk ini bersama para kecoak yang memuakkan. Yang membuat lebih geram lagi, tak jarang mereka menggunakan tameng agama demi kepentingannya semata. Di forum-forum meneriakkan takbir tapi di saat yang lain menerima suap, mark up proyek, dan membuat proposal pengadaan fasilitas fiktif. Bodohnya lagi lembaga pemberantas korupsi di negara ini akan dibubarkan dengan alasan tidak efisien. Ya ampun, mau jadi apa negara ini jika diatur oleh segelintir orang yang sarat dengan kepentingan pribadi? Demokrasi macam apa yang terbentuk? Tak lebih hanya oligarki yang membuat si miskin tambah miskin dan si kaya tambah kaya. Jangan mimpi bisa menjadi macan asia jika sistem macam ini masih bercokol di negara. Tak lama, akupun tertidur di tengah lamunan beratku itu.