About the Girl Who Read Newspapers

21K 4K 798
                                    

a.n

di cerita yang satu bilangnya sih mau fokus ke sekolah, eh malah nge-post cerita baru... wkwk. ya sudahlah. cerita ini sebenernya udah mengendap di laptopku dari lama :v

---

Aku melihat gadis itu pertama kali di kereta. Aku tidak ingat apa dia menaiki kereta itu lebih dulu daripadaku. Namun, pertama kali mataku memandangnya adalah ketika kudengar suaranya memanggil penjual koran yang berkeliling kereta. Pasalnya, dia memiliki suara yang membuat orang-orang menoleh. Bukan dalam artian buruk. Kala itu, aku tidak begitu peduli dan langsung mengalihkan pandanganku.

Kali kedua aku melihatnya, juga ketika dia memanggil penjual koran. Sama seperti kali pertama, saat itu aku tidak terlalu peduli. Aku hanya memerhatikannya sebentar, kemudian mengalihkannya lagi.

Kali ketiga aku melihatnya, sama seperti dua sebelumnya. Namun kali itu, aku memerhatikannya hingga dia akhirnya berkutat dengan lembaran-lembaran kertas yang dibelinya. Aku menyimpulkan, koran adalah santapan sehari-harinya.

Kali keempat, kelima, keenam, sampai kesembilan, aku melihatnya di tempat yang sama dan karena alasan yang sama. Namun pada kali kesembilan, aku tidak melihatnya karena dia memanggil penjual koran. Entah kenapa, begitu aku memasuki kereta, mataku langsung mencari-cari sosoknya. Aku juga mulai mengingat pemberhentiannya--dua stasiun sebelum pemberhentianku.

Kali kesepuluh, adalah karena kursi kosong berada di sebelahnya. Gadis itu memanggil penjual koran. Dan, bahkan, walau dia berada di sebelahku, suaranya tetap membuatku menoleh. Lalu, setelah koran berada di tangannya, dia mengambil pena dari dalam saku dan langsung menyibukkan diri dengan koran. Sebelum kali kesepuluh, aku mengira dia hanya membaca. Namun, terima kasih untuk sepuluh, aku kemudian tahu bahwa dia adalah gadis gila Teka-Teki Silang.

Kali kelima belas, aku kembali duduk di sabelahnya. Pada lima belas, aku tahu bukan hanya Teka Teki Silang yang dia gemari, namun juga acak kata.

Kali kesembilan belas, aku mengambil tempat di sisinya lagi. Hari itu, dia kelihatan tidak bisa diam. Dia menolehkan kepalanya kesana-kemari. Aku pun tahu, dia mencari-cari penjual koran. Namun, hari itu si penjual memang tidak datang. Pada kali kesembilan belas, aku memulai percakapan untuk pertama kalinya dengan gadis itu. Dia berkata, acak kata adalah sarapannya. Sedangkan Teka Teki Silang hanya mucul di hari tertentu.

Kali kedua puluh, aku melihatnya mengenakan jaket bermotif kotak-kotak serta masker. Dia flu. Hari berikutnya, aku tidak melihatnya.

Kali kedua puluh satu, kami duduk bersebalahan. Sepanjang perjalanan, kami mengobrol. Gadis itu mengatakan, dia menaiki kereta sehari-hari untuk pergi ke toko roti tempatnya bekerja sebelum kuliah. Aku juga menceritakan tujuanku menaiki kereta ini. Aku mengatakan, aku bekerja sebagai guru Sejarah di SMA. Ketika aku mengatakan itu, matanya bersinar dan bibir merahnya membentuk senyuman. Dia bilang, guru adalah sebuah pekerjaan mulia.

Kali ketiga puluh, kami sudah semakin dekat. Dalam perjalanan, kami bertanya-tanya kenapa kami selalu menaiki kereta yang sama dengan satu sama lain, di tempat yang berdekatan pula. Dia berkata dengan sedikit tersipu, mungkin itu adalah takdir. Mungkin, kami memang ditakdirkan untuk bertemu. Saat itu, aku bahagia bukan kepalang. Kemudian aku berkata, aku ingin mengenalnya lebih jauh.

Jadi, kali ketiga puluh empat adalah di perpustakaan. Kami berjanjian untuk bertemu di sana. Saat aku mengusulkan tempat ini sehari sebelumnya, matanya kembali bersinar dan bibir merahnya kembali tersenyum lebar. Dia berkata, baginya, perpustakaan adalah surga di dunia. Dia menunjukkan kepadaku buku-buku dan pengarang-pengarang favoritnya. Fitzgerald, Hemingway, Dickens. Klasik. Kemudian dia menambahkan Enid Blyton dan Roald Dahl. Katanya, walau dia sudah dewasa, rangkaian kata Blyton dan Dahl akan selalu dia rindukan.

Kali ketiga puluh sembilan, lagi-lagi, adalah di perpustakaan. Gadis itu tampak sibuk mengisi korannya. Setelah memandanginya sebentar, aku memanggil namanya. Ketika dia menoleh dengan senyuman, aku ikut tersenyum. Kemudian kutatap matanya, lalu bibirnya. Mataku kupejamkan, dan kukecup bibirnya. Aku tertawa melihat dia tersipu setalah itu. Ketika kami pulang dari perpustakaan, dia mulai menggenggam tanganku dengan tangan mungilnya, yang balas kugenggam dengan lembut.

Kali keempat puluh enam adalah di sebuah taman di pinggir kota. Kami berpiknik. Dia membawa minuman jahe buatannya. Kami berdua meminumnya. Minuman itu membuatku merasa hangat, sama seperti yang membuatnya. Lalu dia tersenyum kepadaku, dan aku menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinganya. Aku mencium bibirnya tanpa menghiraukan orang-orang yang menjadikan kami tontonan. Bibirnya terasa seperti jahe, dan barangkali dia juga merasakan jahe di bibirku.

Kali kelima puluh satu, kami berkencan di perpustakaan lagi. Tempat itu telah menjadi santapan mingguan kami. Begitu langit mulai berwarna jingga, aku mengantarnya pulang dari perpustakaan ke tempatnya tinggal. Tempat yang sederhana, dengan tembok berlapis cat putih dan sedikit perabot, namun terlihat apik dan hangat. Kali itu, aku tahu bahwa bunga matahari, warna kelabu, dan lagu-lagu lawas adalah kesukaannya.

Kali keenam puluh dua, tiga, empat, sampai keenam puluh delapan, segala hal berubah tiba-tiba. Kami tidak lagi bertemu di kereta yang sama. Perpustakaan tidak lagi menjadi santapan mingguan. Kami hanya bertemu di stasiun. Aku mengajaknya mengobrol, tapi tidak berlangsung lama. Setelahnya, dia selalu berkata bahwa dia harus pergi.

Kali keenam puluh sembilan, aku bertanya ada apa dengannya. Dia mengatakan, sebaiknya aku menjauh darinya. Lalu, dia pergi.

Kali ketujuh puluh adalah saat aku mendatangi tempat tinggalnya. Aku mengetuk pintunya beberapa kali. Gadis itu membuka pintunya sedikit dan mengintip. Begitu dia melihatku, dia buru-buru ingin menutup pintu. Aku menahan papan itu dengan sepatuku. Kubilang, aku tidak mengerti. Namun, dia keras kepala dan menyingkirkan sepatuku. Aku menahan pintu itu agar tidak menutup. Aku lelaki, tentu saja aku lebih kuat darinya. Kubilang, dia harus menjelaskan kepadaku. Apa pun. Akhirnya, tangisannya pecah. Dia bilang, dia sakit. Dia bilang, waktunya sebentar lagi. Dia bilang, dia tidak seharusnya mengenalku. Dia bilang, selamat tinggal. Aku tertegun. Dia menutup pintu dan menguncinya. Dari balik pintu, dia bilang, pergi, Rai. Dia bilang, kehadiranku membuatnya ingin memiliki lebih banyak waktu.

Kali ketujuh puluh satu adalah sepekan setelahnya. Selama sepekan sebelumnya, aku mendatangi tempat tinggalnya setiap hari. Sayangnya, aku tidak pernah bisa memasuki tempat itu dan melihat dirinya. Tetapi, hari itu, tempat tinggalnya ramai. Pintu masuk terbuka lebar. Dan akhirnya, aku melihatnya untuk kali ketujuh puluh satu. Namun, dia tidak melihatku. Karena matanya terpejam, dan tubuhnya dibalut kain putih, terbujur kaku.[]

About the Girl Who Read NewspapersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang