Nightmare Fairy

75 5 9
                                    

"Kau tidak mau pergi, 'kan? Tinggal di sini, hidup dengan nyaman, bahagia. Semua yang penting bagimu ada di sini," ia mengayunkan kakinya ringan, "Tapi.. Bukankah ini waktunya untukmu sadar? Kau sudah tidak dibutuhkan. Kebahagiaan? Sudah lama pamit dari hidupmu, dan sepertinya ia tidak akan kembali," ucapnya. Aku dapat melihat ujung bibirnya terangkat, dan sorot matanya menatapku tajam.

Seolah meremehkanku.

"Pergi atau tidak, bukan urusanmu. Kau yang seharusnya pergi, jangan ganggu aku lagi," aku melawan. Tapi, dalam hatiku, ada sedikit keraguan. Bahwa aku memang tak mau pergi, bahwa aku masih terikat dengan tempat ini, bahwa semua yang dikatakannya benar.

Dia tertawa, "Kamu itu lemah. Tidak mempunyai kekuatan untuk melawan, untuk menyuarakan keresahan kamu, untuk bilang ke semua orang kalau kamu tidak mau pergi," ia berjalan mendekatiku, "Manusia itu lemah. Karena mereka memiliki hati. Aku kuat, karena aku terlahir tanpanya."

Kata-kata itu begitu menyakitiku. Aku menarik napas saat kurasakan mataku mulai berair, lalu berbisik, "Kau tidak mengerti. Mengusikku, apakah menyenangkan? Aku sudah cukup terluka, lalu kau datang menghantui. Kau pikir aku baik-baik saja? Tidak. Maka dari itu, tolong mengertilah, tinggalkan aku."

"Oh, my sweetheart," senandungnya seraya meraih wajahku dan menghapus air mataku,

"Aku yang paling mengerti tentangmu."

-

Mimpi itu lagi.

Dia selalu datang, laki-laki itu. Membisikkan kebencian, membuatku putus asa, membawa hal-hal buruk untukku. Aku tak tahu siapa dia. Pernah suatu saat aku menanyakan namanya, juga maksud kedatangannya di setiap mimpi burukku. Tapi ia tak pernah menjawab, melainkan..

"Kau tak perlu tahu," ujarnya dengan jari telunjuk di depan bibir.

So I called him The Devil.

Ia pertama kali muncul ketika Ayah dan Ibu memutuskan untuk bercerai. Sungguh, aku tidak kaget. Karena setiap hari, aku terbiasa mendengar pertengkaran mereka. Berulang kali aku mencoba melerai mereka, tapi tak ada hasil. Yang membuatku kaget adalah, ketika Ibu memberitahuku bahwa ia akan membawaku pergi dari rumah kami. Aku tidak mau, tentu saja. Rumah ini menyimpan kehangatan, yang kujaga sekuat tenaga agar tidak hilang. Harapanku satu-satunya adalah rumah ini, di mana dulu kami saling mencintai.

Tapi semuanya sia-sia. Karena pada akhirnya tak ada yang peduli dengan pendapatku. Ayah, Ibu, dengan ego mereka masing-masing. Aku kalah, jadi aku pun kembali ke kamar dan menangis. Mengeluarkan rasa dalam diri. Lalu aku terlelap, terlalu lelah dengan drama bodoh ini. Keesokan harinya aku memutuskan untuk mengubur perasaanku dalam-dalam. Aku berubah menjadi anak yang tertutup.

Saat itulah Si Iblis muncul. Mulanya dia hanya diam, menatapku dengan pandangan yang tak bisa kutafsirkan. Lama-lama, dia meremehkanku atas kelemahanku. Katanya, dia selalu melihatku dari kejauhan. Katanya dia mengerti aku. Katanya dia akan memberiku kebahagiaan jika aku mengikutinya.

Bohong.

Yang ada hanya luka.

-

"Ibu, bolehkah aku menaruh dream catcher ini di kamarku?" tanyaku pada Ibu. Ibu yang sedang membawa kardus menoleh, "Boleh saja, lagipula kamu perlu itu untuk mengusir mimpi burukmu, 'kan?". Aku tersenyum lemah, "Haha, iya, bu," seruku sambil berjalan ke arah kamar baruku.

Rumahku kini berada di pedesaan. Udaranya sejuk dan bersih. Mungkin, pindah ke sini tidak begitu buruk. Aku dapat melepaskan stress dari drama di rumah lama. Bahkan, di belakang rumahku ada bukit yang diselimuti pohon oak. Aku sudah menetapkan bukit itu sebagai tempatku menenangkan diri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 17, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Oneshot StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang