Sebuah Cerita di Pinggir Rel

36 0 3
                                    

Anak-anak itu masih terlihat ceria, meski entah kapan kehidupan akan mengubah kisahnya. Bagi mereka, hanya dengan memakan makanan alakdarnya sedikit bisa membuat hidup mereka bahagia. Mungkin, Sita tak harus merokok demi mengobati rasa laparnya. Agung tak mesti mengelem demi menyimpan sejenak rasa malu ketika harus ngamen di angkot atau bis.

Anak-anak itu masih bisa tersenyum dalam gundah "Besok makan apa?" Ataukah, "Nanti malam harus tidur dimana?" Anak itu masih bisa tertawa dalam gundah gelisah. "Bagaimana jika ayah dan ibu memarahiku jika tak ada uang hari ini?"

Setiap pagi, mereka bergegas menuju rel kereta di pinggir koata Bandung. Tak peduli sakit ataupun pilu, tetap saja mereka harus mencari uang demi sesuap nasi. Hingga tak ada waktu untuk belajar. Huruf alfabet pun seakan asing dalam hari mereka, apalagi jika harus memahami kata demi kata dalam buku pelajaran. Mereka butuh perhatian kita...
***
Andai saja aku bisa seperti mereka, belajar dengan ceria tanpa harus memikirkan hal yang seharusnya tidak aku pikirkan. Aku ingin seperti mereka, bisa belajar dan bersekolah tanpa harus memikirkan pekerjaan.

Namun, inilah aku. Satu dari beberapa anak jalanan yang mencari nafkah d kota Bandung. Inilah aku, yang tak jarang hadus tidur di lorong-lorong kecil dekat rel, hingga seakan tak ada siang ataupun malam dalam hidup ini, hari-hari seperti bertemakan gelap. Dalam malam, aku harus berlomba dengan banci yang merajalela di pinggiran kota, ketika tubuhku lelah membutuhkan istirahat sejenak. Dalam siang, aku harus mencari uang dengan melantunkan lagu bernada sumbang.

Pernah terpikir dalam benakku, mampukah aku bangkit dan menjalani hidup dengan semanagat? Apa aku bisa bersekolah seperti orang-orang yang aku temui ketika pagi tiba dan malam menjelang? Apa aku mampu mengubah hidupku? Ataukah memang aku terlahir sebagai pengamen yang akan menjemput takdir seorang pengemis?

Meski hidupku luntang-lantung, namun ternyata masih ada yang memperhatikanku, tepatnya memperhatikan kami sang pengamen jalanan. Setiap hari minggu mereka datang mengunjungi kami. Walau terkadang kehadiran mereka membuatku tak nyaman, tetapi mereka seperti malaikat dalam gelapnya hidup kami, mereka membawa cahaya yang kami rindukan, dalam lubuk hati terdalam. Mereka mengajarkan arti hisup dan bagaimana menjalani hidup.
***
Suatu pagi di pinggir rel, ku duduk di atas rerumputan hijau, menerawang menjelajahi birunya langit kota Bandung. Di sudut mata sayuku terlihat sosok yang tak asing lagi bagiku, juga bagi teman-temanku.
"Mereka datang lagi" kata Candra yang telah kuanggap srbagai adik, penuh semangat.
"Aku pergi" ku simpan dulu lamunanku karena kehadiran mereka.
"Naya!" Chandra memanggil sebari memegang tanganku, menghentikan langkahku. Jujur, aku tak pernah menyukai mereka. Bagiku mereka tak lain hanyalah si gerombolan aktivis pencari sensasi. Sok perhatian, bahkan terkadang sok mengajarkan sholat dan ngaji kepada kami. Menyebalkan! Sudah tau pekerjaan kami mengamen dan mengemis, sok ngajarin jadi orang sholeh segala. Tak ada waktu bagi kami untuk melakukan yang mereka ajarkan. Ku urungkan niatku karena anak kecil ini, kusimpan dulu rasa benciku karena adik kecilku, Chandra. Tak apalah, paling tidak aku bisa melihat bagaimana cara mereka mengajari teman-temanku.

Sebuah Cerita di Pinggir RelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang