Today

52 7 0
                                    

Detik demi detik berlalu. Sekarang pukul 16.00 WIB. Itu artinya sudah 1 jam aku berada di tempat les ini. Dan selama 6 jam aku membiarkan kakiku yang keseleo ketika sekolah tadi. Pantas saja rasa sakitnya semakin menjadi jadi dan sangat sulit untuk digerakkan. Padahal ketika aku berangkat les, pulang sekolah tadi masih tidak begitu parah sakitnya. Apa ini karena aku terus membuatnya berjalan ya?

"Aya, kamu masih kuat? Kita baru pulang jam 5 kan. Apa aku minta izin ke Pak Rangga aja biar kamu boleh pulang duluan?"

"Enggak deh Ca, makasih. Tanggung tinggal bentar kok. Lagian sayang banget, cuma bisa liat Pak Rangga seminggu 2 kali. Itupun kalau skripsinya udah selesai belum tentu bisa ketemu disini lagi. Hehehe" aku mencoba tetap tertawa supaya Oca tidak khawatir. Karena memang sejak pulang sekolah tadi, dia sudah memaksaku untuk pulang dan segera pergi ke tukang urut. Sayangnya bukan Aya namanya kalau hanya karena keseleo saja langsung bolos les.

Sebenarnya yang membuatku semangat ditempat les ini bukan karena senang dengan pelajarannya, tapi karena gurunya. Gurunya adalah seorang mahasiswa matematika semester 7 yang sedang magang di tempat ini untuk tugas skripsinya. Orangnya masih muda dan cukup tampan dengan alis dan mata yang tajam, hidung tidak terlalu pesek serta senyum menawan yang sukses membuat para gadis semangat mencoba merebut perhatiannya. Orangnya pun juga menyenangkan serta bisa bersikap profesional.

'Duhh Pak Rang, bapak kalau ngajar jangan sambil senyum senyum gitu dong pak. Ayas kan jadi nggak fokus. Ya ampun suaranya jugaa, kenapa bikin hati dag did dug sih pak. Ya ampunnnn' jeritku dalam hati sambil senyum-senyum sendiri.

Aku tidak bohong, aku memang menyukai Pak Rangga. Dan disini juga banyak yang menyukainya mulai dari kalangan perempuan yang cantik banget sampe nggak cukup cantik. Bahkan ada yang terang terangan mendekatinya. Lah aku mah apa? Cuma cewek SMA yang nggak bisa dibilang cantik. Cukup dengan mata lebar, hidung kecil agak mancung dikit ditambah bibir tipis. Tinggi juga nggak banget-banget. Badan sih bisa dibilang berisi tapi biasanya orang-orang nggak mau ngakuin aku berisi, pasti ngatainnya gendut.

"Duhh ca, kayaknya aku nyesel deh tadi pas keseleo aku biarin aja. Ini sumpah sakit banget. Padahal pas nyampe sini udah aku buat duduk terus" bisikku pada Oca sambil meringis menahan sakit. Untungnya Pak rangga tidak tahu karena aku tadi datang duluan. Mungkin kalau dia tau, aku sudah diusir pulang.

"Haduhh, kamu sih. Kan udah dibilangi tadi nggak usah masuk les, langsung ke tukang urut aja. Pulang sekarang aja ya. Biarin deh hari ini Luna dkk nempel ke Pak Rangga terus. Toh tinggal bentar lagi kok" kata Oca sambil menyindirku yang kadang juga berebut perhatian dengan Luna dkk. Aku memang tiap pelajaran Pak Rangga selalu membuat ulah, entah yg kadang aku tinggal tidur, tidak mengerjakan soal, atau ketika penilaian, soal yg diberikan dengan jawabanku tidak ada hubungannya dll. Sehingga beliau sering mengomeliku. Tapi itu memang karena aku butuh waktu untuk mencintai matematika. Bahkan sampai kelas sebelas ini aku masih belum juga cepat mudeng dengan pelajaran itu. Ya Allah, kuatkanlah ayah ibu dan guru yang selalu menasehatiku.

"Aya, Oca. Tolong fokus ke pelajaran ya. Kamu juga Oca, tumben nggak ada suaranya hari ini?" Kata Pak Rangga dari depan kemudian beliau kembali fokus pada papan tulis.

'Ya ampun pakk. Coba ini kaki nggak sakit. Udah saya cekcokin dari tadi pelajaran bapak' aku hanya meringis melihatnya.

"Ay, kamu kenapa? Kok kayaknya dari tadi meringis mulu. Kamu sakit?" Tanya Radit pelan yang duduk di sampingku.

"Hmm, manisnya calon pacar yang perhatian tapi kurang peka" jawab Oca menekankan kata calon pacar. Calon pacar? Sebenarnya bukan, karena aku belum menerimanya. Walapun Radit termasuk tipeku, tapi masih butuh waktu. Aku jadi salting mengingat bagaimana kemarin dia memintaku jadi pacarnya. Hahaha.

Let Them KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang