Baper/n
Adalah suatu rasa yang sering menghinggapi anak muda jaman sekarang. Khususnya, Louis dan Luna, dua manusia freak yang meleburkan kepedean dan baper menjadi satu rasa. Cinta.
Deg. Kenapa nih? Apa gue ngelakuin sesuatu yang salah? Seingat gue, gue adalah cewek teladan, tuh. Seingat lho, bukan sebenarnya.
Ms. Hani membenarkan kacamatanya yang melorot,"Kamu ambil gitar di studio musik, ya?"
"Y-ya, Miss," jawab gue. Gue kirain apaan, jangan terkecoh sama panggilan Miss dari kita. Miss Hani sebenarnya sudah berumur, namun belum juga menemukan pendamping. Alhasil, kita masih harus memanggilnya Miss sampai sekarang.
Gue beranjak keluar kelas, tetapi Miss Hani memanggil satu nama yang sukses membuat jantung gue mencelos dari tempatnya. "Louis Tomlinson? Kamu bisa bantu Luna?" Tanya Miss Hani kepada sesosok cowok berambut coklat di pojokan.
"Ya, Miss," jawab suara bassnya dengan cool.
Duh, gimana nih, kenapa harus dia sih?
"Oy, buruan!" suara Louis menyandarkan lamunan gue. Shit, ternyata dari tadi gue ngelamun.
"He-eh," jawab gue dengan nyengir.
Gue dan Louis berjalan beriringan dengan sedikit candaan. Untung aja jarak studio musik sama kelas gak terlalu jauh jadi gue gak harus terlalu lama jalan bareng sama Louis.
"Ini gitarnya yang mana? Yang akustik? Yang listrik? Atau yang ini?" Tanya gue sambil menunjuk jajaran yang menurut gue adalah gitar.
"Itu bass, Lun," jawab Louis sambil memasang tampang datar.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tipikal gue kalo lagi tengsin, suka salting-salting sendiri sama garuk-garuk kepala, untung bukan kepala orang hehe.
"Oh, soalnya gitar di rumah gue bentuknya gituan semua," kata gue sambil garuk-garuk. Garuk-garuk kepala maksudnya.
Louis menaikkan sebelah alisnya masih dengan tampang yang sama.
"Menurut gue, pilih gitar yang ini aja, keren," sahut Louis sambil mengambil gitar warna coklat kayu yang klasik-klasik gitu. Uluh-uluh, seleranya leh ugha.
Gue hanya memanggut-manggut. Tanpa aba-aba, Louis menggenjreng gitar coklat itu dan menghasilkan alunan yang membuat gue merinding. Louis juga bisa ginian ya. Eh tapi kok gue kaya familiar gitu sama nadanya.
"Eh itu lucky-nya Jason mraz bukan, sih?" Tanya gue, penasaran. Masa bodo dibilang kepo.
Louis tiba-tiba menghentikan permainan gitarnya, lalu menggaruk tengkuk. "E-eh, iya."
"Lanjut aja, bagus tau," suruh gue dengan mata berbinar.
"Ah, lo mah boong. Kalo gue bagus dibilang jelek, kalo gue jelek dibilang bagus," jawab Louis sambil meletakkan kembali gitar ke lantai.
"Seriusan, mainin gak!" jawab gue sambil meraih gitar itu lalu menodongkannya ke Louis. Louis mundur selangkah.