1

136 6 0
                                    

"Etude Op. 25 No. 5."

Di tengah buaian denting piano pada acara demo ekskul ini, suara Nino membuatku terseret lagi ke dunia nyata. Aku melihatnya dari ujung mata, Nino tampak melipat kedua tangannya, duduk bersender sesekali menguap.

Kupikir ia hanya sedang mengguman.

"Itu loh, nada yang sedang cowok itu mainkan." Ucapnya lagi setelah beberapa saat aku tidak merespon.

"Kalau kau sebanyak itu tahu tentang piano, darimana datangnya rasa kantuk itu?" aku menangkapnya kembali menguap.

"Ini karena duduk di sampingmu!" Nino mengaduh ketika aku menyikut lengannya, tapi kami kembali diam karena beberapa siswa menatap tajam.

Aula sekolah disulap seperti bioskop saja. Sepi dengan satu titik jadi sorotan. Cowok pemain piano itu. Rambut dengan gaya tebal bagian atasnya itu tampak kecoklatan terkena cahaya benderang. Ada titik-titik debu kecil yang menguar dari arah cahaya, tapi kulihat itu sebagai kilauan yang membuat penampilannya semakin eksklusif. Ketika aku ingat untuk menarik napas, rasa berat begitu kentara di dada. Bahkan pesona yang ditunjukkan cowok itu melarangku untuk bernapas meski sejenak.

Dia yang duduk di atas panggung itu, yang tengah memainkan jemarinya pada tuts hitam putih itu, kurasa dialah yang menyihir kami semua. Aku dan Nino duduk pada barisan belakang, tetapi masih bisa kulihat keseriusan mimik wajahnya. Gerak punggung dan kepalanya begitu bergairah, seakan ia ingin mengatakan sesuatu lewat nada-nada. Aku tidak pernah melihat orang bermain piano secara langsung, tapi tidak semenakjubkan ini jika di televisi.
Nadanya tidak kumengerti, tapi sesuatu di dalam dadaku bergejolak. Tidak ada lirik, tidak ada musik dentuman, hanya ia dan pianonya. Jelas bukan musik yang sering kudengar, tapi aku menyukainya.

Gemuruh kagum dan teriakan kecil muncul begitu cowok itu lekas berdiri untuk membungkuk. Lagi-lagi aku tercekat, baru sadar kalau ia sudah selesai. Tanpa sadar bola mataku mengikuti kepergiannya ke belakang panggung, sampai badanku rasanya agak maju. Lantas suara cempreng pembawa acara yang tadinya membuat ramai suasana, kini tidak lagi asyik menurutku.

"Apa kita bisa pergi?" aku menoleh, kini merasa ajaib karena ekspresi Nino tiba-tiba saja berubah. Ia sumringah.

"Dan melewatkan demo yang paling ditunggu? Nggak, nggak bisa, kita di sini dulu." Ucapnya menuntut. Nino memajukan badannya, memanjang-manjangkan leher meski tahu hal itu sia-sia.

Sesuatu yang membuat Nino bersemangat yang kutahu hanya makanan dan cewek cantik. Tebakan pertamaku adalah tampilnya anggota cheerleader, Nino segera menggeleng. Lalu tataboga, memangnya ada? Nino malah balik bertanya. Tapi yang keluar di atas panggung hanyalah sekumpulan orang dengan make-up seperti badut. Baju mereka asal-asalan. Saling tabrak dan menutupi. Gelak tawa dan sahutan mengejek datang dari berbagai sudut, bukannya tetap profesional dengan diam dan memulai drama, salah seorang anggota teater itu maju berkacak pinggang dan balas meneriaki penonton.

Setelah aksi pianis tadi mampu membuat kami merasa damai, kedatangan teater di panggung memicu rusuh suasana.

"Ini dia, teater yang sering dibicarakan itu!" Nino menyeringai, tapi aku tahu konotasinya sangat buruk.

Setelah dipaksa panitia untuk melanjutkan atau pergi saja, para pemain di depan membentuk baris lalu menunduk. Beberapa anggota lari ke belakang panggung, sementara tersisa satu orang di depan. Ia mengenakan kostum sapi tanpa kepala, berjongkok di antara rerumputan karton. Seperti tidak peduli pada sorakan penonton, si sapi itu menggerakan tangannya seakan tengah memakan rumput tadi. Backsound mulai terdengar disertai suara dubbing si sapi.

Ini cukup menarik. Maksudku audionya. Suara yang dihasilkan jernih, penempatan volume musiknya sesuai. Kalau rekaman itu dibuat sendiri oleh anggota teaternya, itu berarti mereka cukup bagus.

Nino tertawa-tawa, "Senangnya bisa melihat ini di sekolah tanpa harus ke kebun binatang. Setelah sapi, muncul kambing. Selanjutnya apa ya?"

Aku mengerenyit. Nino keterlaluan. Tapi benar, cerita itu tidak cukup jelas. Muncul kambing-kambing yang tidak beraturan berdirinya, saling tabrak, dan pengucapan yang tidak sesuai dengan suara dubbing. Aku berusaha menutup mata, mencoba mendengar suara dubbing di antara sorakan penonton. Para kambing itu tengah menghardik si sapi. Mengolok-olok warna tubuh dan ukurannya besar. Sapi juga lebih lambat dari kambing yang gesit.

Si sapi yang sendirian itu merasa sedih, tapi tidak menyurutkan niatnya berteman dengan para kambing. Latar berganti di sebuah peternakan. Para kambing liar dan si sapi diangkut oleh peternak. Meski tinggal di tempat yang sama, para kambing tetap tidak ingin berteman dengan si sapi. Sampai suatu saat, para kambing cemburu sebab peternak lebih memerhatikan si sapi daripada mereka. Sapi menghasilkan susu yang lebih banyak daripada kambing, ia juga berharga lebih mahal. Kambing berusaha kabur dari peternakan, namun di luar sana mereka bertemu singa dan buaya. Setelah bersusah payah meloloskan diri, akhirnya mereka kembali ke peternak. Sapi dan peternak khawatir, dan para kambing akhirnya sadar kalau mereka peduli.

Yah, intinya si sapi dan para kambing berteman. Setiap makhluk punya kekurangan dan kelebihannya. Aku tersenyum. Meski aktingnya buruk, meski terkesan acak-acakan dan tidak jelas, aku bisa menangkap apa yang ingin mereka sampaikan melalui drama ini. Drama yang menurutkan masih seperti anak Tk sih.

"Sudah selesai mengoloknya?" tanyaku di sela tawa Nino akibat salah satu kambing jatuh berguling di panggung.

Cowok itu mengelap matanya, "Ya ampun, kau ini tidak mengerti bersenang-senang ya!"

"Arti bersenang-senang menurutku itu bukan menertawakan kelemahan orang lain." Ucapku dan Nino mulai diam.

Ini hari terakhir masa orientasi siswa baru di SMA. Kalau tiga hari sebelumnya adalah neraka bagi siswa baru, tapi hari ini kebalikannya. Lebih seperti festival. Ada bazar, berbagai stan dari macam-macam ekskul, penampilan di aula, dan masih banyak lagi. Tujuannya adalah menarik minat anak baru untuk ikut ekskul mereka.

Es buah di tanganku hampir habis saat aku dan Nino menyusuri stan-stan makanan lain. Enak dan murah. Di sana-sini ada tebaran konfeti, pita warna-warni, dan balon. Beberapa kakak kelas terus menawari ekskulnya, di tanganku saja sudah ada berlembar-lembar kertas promosi. Rasanya semua sudut lapangan sudah kami lewati, tapi Nino masih meneruskan jalannya.

"Kita mau kemana? Kalau tidak ada ide, mending kita duduk saja dulu." Usulku setelah merasa kalau betis ini mulai menegang. Aku berjongkok sebentar. Nino memang berhenti, tapi tidak terlihat kalau ia mendengar ucapanku.

"Ekskul basket dimana sih?" bisiknya yang kudengar. Aku ikut mengedarkan pandangan, mencari-cari.

"Di lapangan basket! Di samping sana!"

"Memangnya sudah dimulai?"

"Ayo ke sana! Sebelum ramai!"

Teriakan orang-orang membuatku terperangah sejenak. Terlihat berbondong-bondong orang mulai lari ke lapangan basket dan tenis di samping sekolah. Lalu suara gemuruh kaki yang lebih besar terdengar. Siswa baru yang ada di arena bazar, hampir seluruhnya tersedot untuk ikut melihat sesuatu di lapangan basket. Tapi sebelum sempat aku menghindar, bahkan setidaknya berdiri, rombongan itu telah menabrak punggung dan kaki-kakiku.

"Nino!"

Teriakanku bagaikan suara semut di antara raksasa. Sia-sia. Tanpa bisa apa-apa, yang kulakukan hanya duduk dan menutupi bagian kepalaku dengan tangan. Sepakan kaki, terjangan badan, entah berapa banyak lebam yang akan tercipta di tubuhku. Mereka semakin menggila, sementara aku tidak bisa berkutik.

"Nino..."

Tubuhku mulai bergetar. Sakit. Hingga bernafas saja rasanya sulit. Aku bertanya-tanya kapan gerombolan siswa baru ini akan berakhir. Satu menit lagi? Dua menit?
.
.
.
.
.
----------to be continued-------------

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 28, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mr. PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang