The millions reason the women would bite

122 4 0
                                    

"Bagaimana itu menjadi mungkin?"

Hubert mengenal suara itu, ratusan kali menusuk telinganya. Dia mengabaikan, sebagai kelakuan paling baik yang bisa dia lakukan. Toples permen cokelat bagaimanapun mengambil perannya besar sekali. Bahwa Hubert harus mencium bagian luarnya atau menikahinya secara batiniah di kemudian hari. Suara ocehan lalu itu dihantui dengan kresek bunyi plastik pembungkus permen, Hubert sengaja-termasuk sengaja membuatnya menjadi bunyi natural-mengepalnya seperti dia sedang kesal; berkali-kali. Itu membantu mengurangi kemampuan Hubert untuk mendengar kata apa yang keluar setelahnya. Dia harus terlihat meyakinkan untuk membuat mulut itu berhenti bicara, tapi dia tidak ingin menyela satupun kata-katanya. Sebab kalau tidak begitu dia akan terjerat sampai malam dengan segala ocehan yang bisa dibukukan saking banyaknya. Suaranya sopran, merdu, sangat baik kalau dia berada di sekumpulan paduan suara menyanyi untuk gereja dari pada di sini, menanyainya macam-macam.

"Kau diam saja, kau pasti sangat terpukul, 'kan?"

Hubert mengamini kalau dirinya itu sudah benar-benar tidak punya kata apa-apa untuk menjawab. Menambah dukungan kalau dia sungguh terpuruk dengan kejadian yang tidak ada apa-apanya untuk Hubert. Tapi pemuda itu tetap sama saja, tidak berubah, tetap menjadi orang paling sombong.

Permen cokelat itu mengalami penyusutan di atas lidahnya. Gulanya berbaur dengan asam, lantas cairan itu merangkak perlahan-lahan ke tenggorokannya menjadikannya lengket. Rasanya manis, sangat manis sehingga dia tidak memperbolehkan liurnya mengalir ke gigi atau dia akan menjadi sangat sial karena sakitnya. Volumenya sudah tidak lagi besar, itu masalah baginya karena dia membutuhkan pengalihan untuk menulikan telinganya di depan seorang wanita yang suka ikut campur, "Aku akan di sini, bersamamu, sayang." dan suka sekali melilit tulang belikat Hubert dengan kedua lengannya yang kurus. Menikmati rasa manisnya cokelat yang menusuk adalah jawaban yang paling baik.

"Kau tak harus berada di sini, Marketa. Aku-" mulutnya masih terbuka, kata-katanya siap mengudara, tapi pelepasannya dihalangi oleh sanggahan tentang hal tidak penting lainnya.

"Mary, kita harus terbiasa hidup dengan ke-Amerika-Amerika-an. Jadi panggil aku Mary."

Mau tidak mau, pemuda itu mendengus meski lemah. "Pulanglah, aku sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun."

Kesedihan yang dijabarkan bukan satu-satunya hal yang membuatnya begitu. Kematian bukan sesuatu yang mengerikan untuknya. Tidak benar-benar akan membuatnya terpukul. Sudut bibirnya tetap membuat garis lurus, dan matanya yang sebiru batu sapphire melebar. Barangkali itu adalah ekspresi untuk orang-orang terpukul menurut cara pandang Sang Wanita, padahal fenomena itu tidak lebih akibat dia menahan kantuk. Marketa melepas tangannya, dan duduknya menjadi lebih baik dengan punggung wanita itu bersandar mandiri di sandaran sofa. "Kekasihmu itu, siapa namanya? Sonya? Sarah? Ya, apalah itu, memang sudah jalannya mati. Manusia macam itu tidak punya kekuatan apapun. Wanita seperti dia hanya menghalangi jalanmu untuk bersenang-senang. Kau tahu 'kan, Hubert sayang? Akulah seharusnya jadi wanita yang tepat untuk kau ajak bersenang-senang. Coba dari dulu kau sadar, pasti tidak akan ada yang harus mati. Apalagi dengan berlumuran darah di lapangan parkir yang kotor."

"Namanya Sophie."

"Tak akan berarti apapun."

Televisi mengabarkan seorang wanita cantik ditemukan dengan sekujur kepalanya berlumuran darah di lantai tempat parkir supermarket kemarin sore. Tubuhnya penuh memar, tulang tangannya patah, dan tulang kakinya retak. Siapapun yang melakukannya, pasti tahu caranya menyiksa seseorang dengan begitu kejam. Kulitnya yang begitu halus seperti busa mandi yang dilumuri sabun kini penuh baret-baret kasar dan mengelupas. Warna putih pucatnya pun sudah hilang digantikan dengan ungu kehitaman. Hubert merinding membayangkan kalau itu sampai mengenai dirinya, ya, itu hanya bualan sejak dia tidak bisa merasakan darahnya keluar dalam kurun waktu yang sangat lama.

Pemuda itu membenarkan kaus omblongnya yang longgar dan mengacak rambut cokelatnya dengan kasar, kemudian berdiri sehabis menatap layar ponselnya beberapa menit. "Aku sudah harus pergi." katanya berlalu mendatangi jaket yang menggantung di tempat penyimpanan.

"Upacara penguburannya sudah dilakukan? Oh, aku boleh ikut? Aku suka sekali menghadari pesta macam itu." alih-alih berduka, Marketa punya wajah paling sumringah yang sangat cantik. Seperti anak kucing yang minta diadopsi, sayang binatang selalu membuatnya alergi bagai kuman.

"Tidak, aku harus-"

"Belum siap? Aku sudah hampir bosan menunggu di rumah." Shopie membuka pintu apartemen-Hubert ingat pintu itu masih terkunci, ulah Marketa yang senang sekali membuat mereka berada dalam ruang tertutup rapat, memenjarakan dirinya sendiri-dengan wajah merajuknya bahkan sebelum dia menyelesaikan alasannya pada Merketa. "Oh, Hallo Mary." kemudian ia berubah, termasuk mangubah fokusnya pada wanita yang sudah menegang di tempat duduknya. Senggama bukan alasan bagi gadis itu berkelih. Pakaian mereka masih rapi, kecuali selera Hubert yang begitu fanatik dengan kaus omblong tipis yang kebesaran.

"Mary, Mary, Mary, O' Mary. Aku sangat berduka atas kehilanganmu." Sophie bicara lagi dengan suaranya yang pilu. Gadisnya itu sekarang duduk bersebalah-sebelahan. Tangannya meraih pergelangan tangan Marketa, dan sejenak Hubert mendengus geli dengan sikapnya yang begitu meyakinkan seperti asli. "Aku tidak tahu apa yang akan aku perbuat kalau ibuku jadi bahan pembunuhanan keji seperti itu."

"A-apa m-maksudmu?"

"Hubert? Kau belum memberi tahunya?" Hubert yang sibuk mengikat tali sepatu memandang kedua gadis di ruangannya dengan acuh. "O' Sweetheart." Sophie bangun dari duduknya, mendatangi Hubert dan memaksanya berdiri untuk memasukkan tangannya yang ramping ke saku celana belakang pemuda itu. Matanya memandang nakal, dan Hubert dengan senang hati menikmati sentuhan jati-jari itu di permukaan bokongnya yang terbungkus celana denim. Sayang, waktunya hanya sebentar karena benda lentik itu sudah menemukan apa yang dicarinya. Sentuhan jari-jari Sophie menyenangkan hati, bahkan diluar celana sekalipun.

Dia kecewa, namun tatkala Shopie menyodorkan sebuah foto di depan Marketa Hubert tahu kalau dia harus mengambil sikap acuhnya lagi. Itu sosok wanita cantik yang dibicarakan telivisi, yang darahnya bercucuran di jalan dan wajahnya memparaskan sedikit genetik Marketa dengan surai pirang yang sama. Dia tidak peduli, sama sekali tidak ingin peduli seperti yang sebelumnya dia lakukan. He mean it, kematian kali ini adalah kejadian yang bukan apa-apa untuknya.

"Beritanya besar, Hubert dan aku berhasil mengambil fotonya kala orang-orang di supermarket itu sudah berusaha sebisa mungkin agar ibumu selamat. Tapi usaha mereka tidak membuahkan hasil. Kau harus berbesar hati, Mary sayang. Temukan orang yang melakukannya. Aku yakin kau ahli dalam hal ini." katanya dengan suara yang membuat Hubert jatuh kepayang. Kemudian gadis itu berdiri, siap untuk pergi sehabis matanya bersibobrok dengan Hubert yang sudah bersidekap di depan pintu. Menunggu.

"Semoga berhasil. Marry." katanya lagi, dan membalikkan dirinya untuk berjalan menjauh.

"Kau melupakan sesuatu, Sophie sayang." mereka diam, Sophie terlalu senang untuk mengerti maksud kekasihnya, sampai Hubert menunjukan sisi sebelah Marketa yang membeku. "Topimu masih di sana, kau suka sekali pakai topi itu, bagaimana bisa lupa?"



______________________________________________________________

Infamy Will Be A Girl With A Hat.

Not Your Cup of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang