Fuck, Marry, Kill

100 4 0
                                    


Aku menyayanginya. Abby benar-benar membuatku mewujudkan istilah konyol; pertemanan bagai kepompong; dari ulat menjadi kupu-kupu. Kepompong kami tidak pernah membuat kami berubah menjadi serangga bersayap yang cantik, tetapi kerlipan bintang di langit musim panas, dalam kilau plastik sampul majalah gadis metropolitan. Melihat setiap orang berusaha mendapatkan apa yang kami kenakan dalam cover adalah metamorfosis yang aku inginkan.

Aku senang aku masih bertahan selagi Abby melakukan pemotretannya selama berjam-jam kala donat keju menjadi bayaranku sebagai tukang tunggu. Brunch saat California sedang on fire adalah, ugh, jangan sarankan aku selain donat Crazy n' Chill; cause never be chill without crazy. Slogannya menggelikan, aku tahu. Aku membutuhkan pengalihan, dan bersama-sama dengan Abby adalah jenis pengalihan sempurna. "Kau beruntung tidak pernah bekerja dengan Kenneth." Abby mengerang kemudian menggigit donat cokelatnya. Aku hanya tersenyum membanggakan diri. Kenneth adalah photografer perfeksionis, pujiannya mahal dan senyumnya selalu tidak pernah tulus. Satu-satunya model yang dia cintai hanyalah Sylvia McQueen, pelacur berdada besar. Sebutan itu tidak pernah terdengar jahat untuknya. Aku—Abby juga berpikir begitu—yakin Kenneth diguna-guna untuk terus menjadikan Sylvia sebagai model utama. Dia bahkan tidak bisa berpose selain membusungkan senjatanya yang selalu terlihat seperti roti yang mengembang terlalu besar di dalam oven. Yang sudah pasti produk-produk breast holder akan menjadikannya Dewi Kesuburan Payudara.

"Fuck, marry, kill." kataku dengan seringai.

"Jangan mulai Julia."

"Kenneth, Sylvia, yourself." tapi aku tidak menyerah.

"Please." Abby mencemooh dan aku bersikap pongah dengan mengendikkan bahu. "Oke." katanya menyerah lalu membenarkan posisi duduk. Dia tampak berpikir, sementara aku cepat-cepat menelan habis donat kejuku untuk meredam tawa. "Kill Kenneth, tentu saja!" secepat ia menuding secepat itu pula kepalanya menggeleng. Keputusannya batal. "Kill Sylvia, bitch always die." aku tersenyum dan mengamini, dan sungguh-sungguh berharap dia mati agar kontraknya pada Femme's Secret bisa kudapat tanpa halangan. "Fuck Kenneth, bagaimanapun dia tampan. Marry myself." kemudian kami tertawa terpingkal.

Abby dan aku kerap melakukannya.

Bergantian, terkadang aku yang memberinya tiga nama secara acak, atau Abby yang memilihnya untukku sesuka hati. Kami sering memasukkan diri kami dalam pilihan saat kedua pilihan itu sangat penting, kemudian kami akan berpesta dengan menikahi diri sendiri. Kegiatan ini amat sangat worth untuk mengubah suasana hati yang kelam. Seperti mantra bagi para penyihir dan bubuk fairy untuk Thinkerbell.

Mengeleminasi seseorang adalah hal yang menyenangkan. Sekaligus bukti kalau kami hanya dua gadis penggerutu yang taat pada hukum. Membunuh adalah dosa, dan tidur dengan orang-orang asing adalah kesalahan. Sylvia, yang selalu kami sebut pelacur adalah tolak ukur seberapa buruknya kami dalam memilih pasangan bersenggama. Itu mengapa one night stand bukanlah satu dari kebiasaan kami. Khususnya aku yang hanya melakukannya dengan kekasih abadiku. Kecuali satu kali, saat aku bangun di tempat tidur Martin, kekasih Abby, tanpa pakaian dan batang kemaluannya masih berada di dalamku pagi ini. Aku tidak mengingat bagaimana kejadiannya, dan aku tidak menceritakannya pada Abby. Tidak akan pernah.

"Kau mempesona." kataku setelah tawa kami mereda dan aku meraih lagi donat kedua, bertabur oreo dan gula bubuk. "Omong-omong aku pass makan siang nanti. Pekerjaan menunggu."

"Perpustakaan?"

"Yap."

"Lama-lama kau jadi kutu buku. Matamu akan dibingkai kaca mata yang lebih besar dari pada dada Sylvia." aku tersedak, alam bawah sadarku terpingkal tanpa peringatan. "Fuck, marry, kill."

"God."

"Pilih dengan hati-hati." katanya. "Lucinda." pustakawan tua, rekanku bekerja di perpustakaan kota di sela waktuku menjadi model. Usianya barangkali sama dengan bangunan itu, hanya saja Lucinda tidak punya lagi kulit semulus tembok marmer seperti perpustakaan Los Angeles. Wanita itu bagai ibu kedua untukku. Jadi walaupun dia marah-marah setiap aku tidak mengembalikan buku tepat waktu, aku tetap menyayanginya. "Paul." kekasihku. Tentu saja akan masuk dalam seseorang yang dipilih dengan hati-hati. "Yourself." aku jelas -jelas mengerang sebelum menjawab.

"Fuck Paul." kataku memulai. "Oh, ya ampun. Aku harus apa?" Abby membalas, bahunya mengendik dan ia menggigit Crazy n' Chill secara sensasional. "Kill Lucinda." aku bersyukur ini hanya permainan kata. "Marry myself, and happily ever after."

"Shoot."

Aku bangkit dengan tawa seraya membasuh telapak tanganku dengan tisu, dan mencium pipi kanan Abby. "Aku harus pergi." kemudian berjalan menjauh, keluar dari toko yang sejuk menuju panasnya jalanan Lost Angeles. Mendatangi perpustakaan, mulai membaca buku favoritku selagi menunggu pekerjaan lain, dan membeli masakan China untuk makan siang nanti.

Begitu aku datang, perpustakaan tampak tenang, lebih tenang dari biasanya, tapi aku tidak ingin ambil pusing. Apa yang bisa diharapkan dari perpustakaan? Lantas aku cepat-cepat menuju mejaku yang berlabel resepsionis. Membuka buku agenda, berencana untuk melihat-lihat apa yang sudah dikerjakan Lucinda ketika aku pergi pemotretan kemarin. Tapi selembar amplop jatuh dari dalam buku, membuatku gagal melakukan niatku. Di bagian depan amplop tertulis namaku, dengan cap bibir dibuat dengan lipstick merah muda. Tidak ada petunjuk siapa yang melakukan ini, ada puluhan ribu gadis yang punya lipstick merah muda di California. Kontan tubuhku menegang. Sekon kemudian aku mendapati jari-jariku sudah membukanya, membiarkan isinya berhambur di atas meja.

Lembaran gambar.

Foto-foto Paul bersenggama dengan gadis yang membelakangi kamera. Gambarnya banyak, cukup banyak untuk melihat Paul mengalami pelepasan yang menyenangkan. Aku memaki udara, suaraku menggema mengubah suasana tenang menjadi gaduh. Siapa yang melakukannya? Mengapa Paul begitu? Tanpa sadar langkah kakiku menyusuri lorong hingga berada di depan ruang Lucinda. Aku ingin tahu siapa yang membawa suratnya, jadi telapakku mengetuk tidak sabar, tapi tidak ada jawaban. Wanita tua itu biasanya marah kalau aku membuat gaduh dengan pintunya, oleh karena itu keheningan berarti tidak baik. Aku mengetuk lagi. "Lucinda, ini Julia. Kau di dalam?" kataku ketika masih tidak ada jawaban. Aku mengetuknya lagi, lagi, dan lagi, sampai pintu itu terbuka sedikit karena ketukanku. Tetap tenang bahkan aku bisa mendengar detak jantungku sendiri yang berdebar karena marah. Tempat ini kosong, Lucinda tidak di sana tapi susu cokelat di mejanya masih mengepulkan asap. Aku tidak bisa membayangkan urusan apa yang membuat wanita tua sibuk pada jam sebelas siang, jadi aku mendekat ke mejanya dan mencari petunjuk. Siapa tahu ada catatan yang bisa memberiku jawaban. Tatkala itu mataku melebar dan tanganku menutup mulut tidak percaya. Ruangan ini ternyata tidak kosong, Lucinda di sana, dengan darah berlumur di sekitar perutnya, membasahi lantai, dan mengalir mengotori ujung karpet. Apa yang terjadi hari ini?

Detak jantungku bergemuruh lagi. Kali ini karena takut, bukan marah atau kesal. Masalah Paul sudah benar-benar hilang dari pikiranku. Kala ponselku berdering aku pikir aku mendapat bantuan sedkit. Layarku menampilkan nama Abby, cepat-cepat aku menerimanya. "Ab—"

"Fuck Paul, kill Lucinda, and I'll marry myself." itu permainan, seharusnya tetap jadi permainan. Aku membisu, dan suara Abby datang lagi. "Happily ever after." katanya kemudian sambungan tertutup dan kesunyian melanda kembali.


__________________________________________________

At the library you find a photo in a book.

Not Your Cup of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang