Prolog

294 8 0
                                    


Pada sore yang oranye, di tengah hamparan pasir putih kecoklatan aku berdiri termenung. Menatap lingkaran populer dihadapan yang semburatnya menyembur keseluruh langit hingga hampir seluruhnya berwarna oranye, sebelum ia tertidur, menghilang; senja. Bersama kebisingan ombak yang saling beradu, pohon-pohon yang mulai melambai, dan terpaan angin yang menghipnotis. Mataku terpejam, merasakan belaian angin menyentuhku lembut. Dalam hati, ku ceritakan sepenggal kisah pedihku dengan sepenuh hati dan hati-hati.

Semburat jingga merona, warna jingganya perlahan habis bersamaan dengan suara bariton tak asing yang tiba-tiba terdengar dan pemilik suaranya sudah berdiri disampingku diam-diam.

"Dari dulu kalau tiba-tiba ngilang gampang banget dicarinya, pasti kesini" katanya.

Aku terperenjat dari lamunan, dan hanya menatapnya bingung sebagai respon dari kalimat pun kedatangannya yang tiba-tiba. Tapi memang iya, kalau sedang ada sesuatu yang menganggu pikiran, aku pasti datang ke sini. Dan beberapa kali, pemilik suara tadi seringkali datang untuk sekadar menemani.

"Maksud gue, apa lo nggak mau tetep kayak gini aja, Tar? Tetep di Jogja, biar kalau gue cari dan lo ada disini, gue lega. Kalau lo cepet-cepet ke Jakarta, jauh dong gue nyarinya." jelasnya sambil menatap jauh ke depan dengan tatapan yang terlihat penuh harap.

"Gue juga gatau sih kalau disana dan nggak ada lo, tapi ya.. itu udah keputusan gue. Sorry, Tur." tampikku sambil memaksakan senyum walaupun tidak sedang saling pandang.

"Iya, gue juga nggak bisa maksa lo buat tetep tinggal juga sih. Pokoknya kalau lo nggak balik-balik ke Jogja, gue bakal susulin lo ke Jakarta." ancamnya yang membuat mataku terbelalak menatap matanya yang sedang menyipit karena tertawa.

"Apasih lo, lebay" tak sadar, aku ikut tertawa. Padahal kata-kata yang terucap olehnya tadi sangat membuat jantungku terhenti sejenak, detaknya terjeda. Ombak terasa semakin kencang menerjang kakiku yang kaku, pohon-pohon menelisik kencang memakakan telinga, bahkan angin terasa menyayat ketika mendengar apa yang dikatakannya tadi. Apanya yang tetep kayak gini? Aku memutuskan ke Jakarta, untuk lebih fokus belajar dan berhenti memikirkan perasaan yang kian tumbuh ini padanya.

Langit jingga sepertiga sore sudah hampir menghilang. Warnanya kian pudar, menghilang. Pertama, biru muda. Jingga. Merah muda bercampur ungu muda. Hingga semuanya kalah dengan kombinasi biru tua dan hitam. Gelap. Ya ini sudah gelap, senja sudah dilahap cakrawala. Meninggalkanku kami yang juga berjalan beriringan sambil bercanda gurau, untuk terakhir kalinya, di Jogja.


JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang