Don't be afraid, 'cause I'm always by your side.
••••
Wajah polos itu menatap padang rumput yang terbentang luas di hadapannya. Pikirannya melayang jauh dari tempat raga itu berpijak. Matanya terpejam secara perlahan seiring hembusan angin. Terdengar suara alam yang sangat indah. Dirasakannya setiap gesekan angin yang tercipta di kulitnya, sangat menyejukkan. Rambut hazelnya seakan-akan menari bebas menyambut sapuan angin.
Sangat nyaman. Hanya itu yang dirasakannya. Terbesit keinginan untuk ikut terbang bersama hembusan angin. Terbang jauh dari semua kenyataan ini. Kenyataan pahit yang sangat menyiksanya.
Ia sangat lelah. Rasa itu selalu menghantui, selalu hadir dimanapun ia berada. Tak peduli beratus-ratus kilometer jarak yang ditempuhnya, tapi perasaan itu selalu datang menganggu. Perasaan itu seperti permanen tertancap dalam dirinya. Apa tidak ada cara untuk menghilangkan rasa tersebut? Sungguh, ia benar-benar tersiksa.
Tanpa izin, air mata jatuh bebas membasahi pipi gadis itu. Tiba-tiba kedua tangannya mendarat keras di pipi tersebut. Tamparan keras itu diulangnya berkali-kali, entah sampai kapan tangannya akan berhenti. Tak dihiraukan kedua pipinya yang semakin panas dan memar. Ia hanya ingin melampiaskan kebencian pada dirinya sendiri.
Tangisnya semakin menjadi. Gadis itu mulai kelelahan. Tapi hal itu tak membuatnya berhenti menampar pipinya sendiri. Ia benci. Sangat benci!
"Percuma kau melakukan itu"
Refleks tangan gadis itu berhenti. "Kau?" Tanyanya lirih hampir tak bersuara ketika menyadari keberadaan seseorang di sampingnya.
"Sampai kapan pun perasaan itu akan selalu menyelimutimu"
"Apa yang kau tahu hah? Kau tak mengetahui apapun!"
"Tentu saja aku mengetahui semuanya, bahkan melebihi dari apa yang kau ketahui"
Gadis itu mengerutkan keningnya "Apa maksudmu?"
"Bodoh! Meski kau menampar dirimu sendiri sampai mati rasa sekalipun, itu tak akan pernah mengurangi rasa bersalahmu" Ucap sosok tersebut datar.
Gadis itu tersentak. Kepalanya mendongak, menatap wajah itu dengan tatapan penuh tanda tanya. Namun pemilik wajah tersebut hanya tersenyum samar. Senyuman yang berbeda. Senyum itu tak terlihat seperti senyuman penghinaan yang biasa menghiasi bibir tersebut.
"Kau... mengetahuinya?"
"Bukankah sudah kukatakan?" Balas sosok itu sambil beralih menatap wajah gadis di sampingnya.
"A... apa yang kau ketahui?"
"Apa aku perlu mengulangnya?" Sosok itu semakin mendekatkan wajahnya. "Aku mengetahui lebih dari yang kau ketahui, Irene."
Gadis bernama Irene tersebut menelan ludahnya cepat. Mata lelaki itu menatapnya sangat tajam. "Tapi.. tapi, aku terpaksa melakukannya"
"Kau pikir semua orang akan berpikir tentang keterpaksaanmu itu? Mereka tak akan peduli."
Ekspresi Irene berubah. "Kau benar, Suho." Gadis itu memalingkan pandangannya. Matanya kembali berkaca-kaca.
"Jika kau hanya berdiam diri dan melakukan tindakan bodoh seperti ini, masalahmu tak akan pernah selesai. Rasa bersalah itu akan terus tertanam dalam dirimu." Gumam Suho
Irene tidak dapat menahan. Untuk kesekian kalinya pipi itu dibasahi oleh bulir-bulir bening yang berjatuhan dari matanya.
"Kau pikir menangis adalah solusi atas masalah ini?" Senyuman kecut menghiasi bibir Suho. Lelaki itu menyentuh dagu Irene kemudian diarahkannya wajah itu untuk menghadap wajahnya. Mata mereka saling bertemu. "Hentikan tangismu itu!"