Bab 1

87 1 0
                                    

Intan

"Tara."

Aku menoleh, menatap laki-laki yang berada dibalik kemudi. Laki-laki itu menatap lurus kedepan, bertingkah seolah ia tak memanggilku. Aku memutar kedua bola mataku, lalu kembali membuang pandangan keluar jendela.

"Tara," panggilnya lagi.

"Hm," jawabku acuh tak acuh, kali ini aku malas menoleh kearahnya.

Laki-laki itu berdecak. "Gue panggil elo, dek."

"Dan gue juga udah jawab, kak. Lo kenapa deh? Biasanya juga nggak kayak gini," sahutku. Aku menoleh dan menemukan tatapannya.

"Lo kenapa sih, Tam? Ada yang salah?" tanyaku heran. Tama-laki-laki itu-kembali mengalihkan pandangannya kedepan, berpura-pura fokus pada jalanan yang cukup ramai pagi ini. Dari ujung mataku, kulihat Tama mengulum senyum, membuatku mengerutkan keningku dalam.

"Dek," panggilnya lagi. Aku menatapnya jengah. "Apaan sih, Tam? Kalau ngomong jangan setengah-setengah deh. Lo emang bakat ngerusak mood orang ya?" tanyaku ketus.

Tama tergelak. "Jelek amat bakat kayak gitu."

"Lagian elo sih, bikin kesal aja," omelku.

"Iya-iya. Maafin aku ya, adik kesayangan," ucapnya dengan nada memelas.

Alih-alih menjawab, aku malah menaikkan volume musik yang sudah sejak tadi menemani pembicaraan yang terjadi diantara kami. Kemudian ikut menyanyikan lagu Just The Way You Are milik Bruno Mars-salah satu lagu kesukaan Tama-yang saat ini sedang mengalun.

"Lo berisik, Tara. Gue janji deh, nggak aneh-aneh kayak tadi lagi asal lo diam," ucap Tama.

Aku tak mempedulikan ucapan Tama, masih terus menyanyikan bait demi bait lagu tersebut sambil sesekali melirik Tama yang tampak kesal. Melihatnya seperti itu, aku tertawa puas dalam hati.

Rasain tuh, umpatku tanpa suara.

"Oke. Berhenti nyanyi sekarang, kita udah sampai."

Aku segera menghentikan nyanyianku, kemudian memandang sekeliling. Mengapa aku bisa tidak sadar kalau kami sudah memasuki area sekolah? Segera, aku menoleh kearah Tama yang ternyata sudah menatapku. "Kenapa?"

Tama menggeleng, kemudian ia mengusap rambutku lembut seraya tersenyum. Entah jenis senyum apa yang saat ini ia tunjukkan untukku. "Have a nice day, sis. Dan siapin telinga lo, ya. siapa tahu dapat sarapan enak pagi ini," katanya.

Aku menaikkan alisku, meminta penjelasan dari perkataannya barusan. Aku dan dia sama-sama tahu, dibalik kata-kata manis nan perhatian yang jarang kami tunjukkan walaupun hanya sekadar ucapan have a nice day-seperti yang baru saja Tama katakan-memiliki makna tersendiri. Aku menyipitkan mataku, menatapnya curiga.

Namun sepertinya Tama tak ingin menjelaskan lebih lanjut karena detik berikutnya, ia segera menjauhkan tangannya dari rambutku. "Ayo turun," ajaknya.

Aku menghela napas. Lalu segera turun dari mobil dan mengambil jalan yang berlawanan arah dengan Tama karena kelas kami yang berbeda.

Aku dan Tama berada di tahun terakhir kami di SMA. Tama merupakan satu-satunya saudara yang kupunya walaupun ia bukan saudara kandungku. Orang tuaku mengangkat Tama sebagai anak mereka ketika Tama baru berusia beberapa minggu dan Bunda sedang hamil tua. Kedua orang tua Tama meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Kata Bunda, Mama kandung Tama adalah satu-satunya kakak yang Bunda punya sehingga akhirnya orang tuaku memutuskan untuk mengangkat dan mengasuh Tama. Dan terlepas dari semua itu, Tama merupakan sosok kakak laki-laki yang begitu sempurna untukku. Walaupun kadang suka berbuat seenaknya, ia tetap bisa kujadikan panutan kedua setelah Ayah.

IntanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang