YOWIE

444 44 17
                                    

Truk tua berhenti di di depan rumahku. Ayah dan ibu yang asyik berbincang segera menghampirinya. Siapa dia? Seorang pria botak berbadan kekar keluar dari truk. Ia mengenakan kaos putih kumal dengan celana kain berwarna jingga.

Indera visualku mendapati mereka bertiga sedang membicarakan sesuatu. Kelihatannya sangat serius. Ingin kuhampiri mereka, namun bocah sepertiku pasti hanya akan mendapat omelan. Selang tujuh menit, ayah masuk ke dalam truk bersama si pria botak sementara ibu berjalan ke arahku. Raut wajahnya sedikit khawatir.

"Ada apa, Bu?" tanyaku memberanikan diri.

"Bawa masuk Kasey ke dalam! Akan ibu ceritakan nanti," ujarnya semakin cemas.

Aku menggendong anjing peliharaanku, Kasey masuk ke dalam rumah. Tidak lama setelah itu ibu mengunci pintu.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Bu? Lalu ke mana ayah pergi?" Aku menghampirinya yang sudah tak karuan.

"Ayahmu pergi memperingati orang-orang. Tidakkah kau tahu? Lelaki yang barusan datang adalah seorang penjaga hutan." Ibu menghela napas panjang seakan ragu melanjutkan perkataannya padaku.

"Mereka akan menyerbu desa kita," lanjutnya pasrah.

Aku masih tidak mengerti. Siapa mereka itu? Sebelum kulontarkan pertanyaan tersebut, ibu lebih dulu menyuruhku pergi ke kamar.

Hatiku belum puas. Rasa penasaran tak henti-hentinya menghantui. Sesekali kuintip ke luar jendela. Salju masih membasahi tanah Malice seperti biasanya. Aku membuka grendel jendela lalu mengulurkan tanganku, menunggu butir salju yang turun. Rasanya menyenangkan bisa hidup sebagai seorang anak sembilan tahun di desa indah ini. Bahaya apa yang perlu ditakutkan? Malice adalah tempat teraman yang pernah kukenal.

"Kau tidak takut kan, Kasey?" tanyaku yang dibalas gonggongan olehnya.

Aku bukan anak yang mudah diatur. Aku juga punya rasa ingin tahu yang besar. Perintah ibu saja belum cukup kuat untuk mematahkan keberanianku.

Menunggu saat yang tepat, aku pun mulai memanjat jendela. Kasey yang agaknya tidak mengizinkan, segera menggigit ujung celana panjangku. Untungnya aku berhasil melawan dan melewati jendelanya.

Bukk!

Kakiku mendarat di hamparan salju yang lembut. Aku melompat-lompat kecil merayakan keberhasilanku melawan perintah ibu. Udara dingin menyapu kulit halusku. Gigi-gigiku pun sontak menggertak. Meskipun sudah mengenakan baju tebal, dinginnya tetap menerobos masuk.

Aku berlari di bawah naungan awan kelabu, mengarungi tanah putih Malice, satu-satunya desa terindah di Australia. Gugusan pohon cemara mengiringi perjalananku bersama kumpulan burung gereja yang saling bersahutan.

Aku akhirnya tiba di peternakan sapi milik ayah temanku. Sapi-sapi yang ada di sini gemuk dan kuat. Aku sering berkunjung untuk sekadar mengelus kulit mereka. Tidak lama kemudian Ethan datang bersama ayahnya. Aku melemparkan senyum ramah kepada mereka.

"Noah!" seru Ethan yang sepertinya senang akan kedatanganku.

"Kalian mau memerah susu sapi, ya?" tebakku.

"Tentu. Mau membantu?" Ethan menuntun tanganku menyusul Tuan Jacob, ayahnya yang tengah asyik memerah susu.

"Ayah, bisakah Noah ikut membantu?" tanya Ethan meminta izin.

Pria berkumis tebal itu mengangguk lalu membiarkanku menggantikan posisinya. Aku yang awalnya kesulitan, akhirnya cukup mahir setelah mendapat pengarahan singkat dari mereka berdua. Kami sangat menikmati hari ini, setidaknya sebelum ibu Ethan datang.

"Gawat! Ini sangat gawat!" serunya panik.

Kami pun segera menghampirinya. Tuan Jacob mencoba menenangkan isterinya yang meracau sendirian.

YOWIE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang