Purnama

85 4 8
                                    


          Cantik.

          Aku tidak sadar berapa lama diriku memandanginya. Dunia di sekelilingku berubah benderang. Suhu di luar kamarku menurun seiring berjalannya malam tapi aku merasakan tubuhku menghangat.

          "Bulan purnama malam ini indah sekali, ya, Bu," aku mulai berkisah pada sosok yang berwujud kenangan. Seringkali aku menginginkan balasan. Sedikit saja. Setidaknya dengan begitu aku tahu beliau mendengarkan. Sayang sepertinya aku tidak terlalu beruntung untuk mendapatkan sedikit suaranya. Namun meski demikian, aku tidak pernah berhenti bercerita pada satu-satunya hal yang kuingat mengenai dirinya.

          Ya, ini adalah kisah tentang aku dan Bulan.

          "Sekaligus mengerikan."

*****

          Di ruang tengah, eyang putri sedang melantunkan Mantera Purwajati seperti yang selalu dilakukannya minimal sebulan sekali. Biasanya di malam bulan purnama seperti ini. Untuk menolak bala, katanya. Suaranya merdu, seperti seorang sinden profesional, meski beliau mengaku hanya belajar sebentar pada pamannya yang konon pernah menjadi seorang abdi dalem keraton dulu. Aku sering membuat pembatas dengan menyebut diriku sendiri sebagai generasi muda yang jauh lebih modern ketimbang beliau, sesepuh, generasi klasik yang kuanggap sedikit kolot karena masih percaya pada hal-hal klenik semacam santet, guna-guna, dan juga tenung. Akan tetapi, mendengar bagaimana eyang putriku nembang selalu bisa membuat tengkukku merinding.

          Oh, ada kata lain yang bisa kugambarkan ketika mendengar suaranya itu, yaitu... magis.


Ana kidung rumeksa ing wengi

Teguh hayu luputa ing lara

Luputa bilahi kabeh

Jim setan datan purun

Paneluhan tan ana wani

Miwah panggawe ala

Gunaning wong luput

Geni atemahan tirta

Maling adoh tan wani ngarah ing mami

Tuju duduk pan sirna*


          Aku sedang menebak-nebak, mungkin dari kidung yang sedang ditembangkan oleh eyang putriku itulah kemudian namaku berasal, ketika telepon genggam yang sudah kuaktifkan aplikasi handy talky-nya memperdengarkan suara Indra di seberang.

          "Permadi kepada Punta, ganti," aku mendapatkan panggilan. Mungkin langkah yang kubuat dari jendela ke meja tempat telepon genggamku berada membutuhkan waktu yang lumayan lama, Indra mengulangi kembali panggilannya, "Permadi kepada Punta, ganti."

          "Puntadewa, woi. Jangan dipotong-potong, 'napa," aku segera membalas dengan nada senewen. Indra memotong nama kecil Yudistira itu dengan seenaknya saja.

          "Maaf, bro, kepanjangan," Indra justru tertawa. "Menjangan udah keluar dari kandang, nih." Itu adalah kode yang kami gunakan untuk menunjuk pada seseorang yang sedang kami awasi secara diam-diam.

          "Pinten, Tangsen, siap di posisi." Suara lainnya menyahut untuk memberikan laporan.

          "Sena?"

          "Kayaknya ambruk, bro. Bebas tugas dulu malam ini. Bima Sakti udah gak sakti lagi..."

          "Aku denger, ya!"

          "Wah!"

          Ini berawal dari kejadian-kejadian aneh yang terjadi sejak dua bulan yang lalu di kota kami. Banyak warga melaporkan bahwa mereka telah mendengar suara-suara bising di beberapa malam. Keesokan harinya pohon-pohon di sebelah utara kota tumbang seperti habis dihantam badai, padahal malam sebelumnya tidak ada hujan sama sekali. Tembok jembatan di dekat waduk retak seperti ditabrak oleh benda yang sangat berat. Lubang-lubang muncul di tengah-tengah persawahan di pinggir kota dengan efek-efek hangus di sekelilingnya. Seorang warga yang rumahnya berada di dekat sekolahku justru mengaku kalau ia mendengar lolongan-lolongan mengerikan di malam-malam yang sama ketika peristiwa itu terjadi.

          Mendengarkan hal ini jiwa-jiwa muda kami yang penasaran pun bangkit. Kami tergugah untuk menyelidikinya, sok-sokan menjadi detektif amatiran. Kecurigaan kami—kecurigaanku lebih tepatnya—jatuh pada seorang pria yang baru saja pindah dan menempati rumah kosong di dekat balai kota. Sebenarnya kami belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pihak berwenang pun belum memberikan pernyataan apa-apa terkait dengan hal ini. Kami hanya menghubung-hubungkan segala kemungkinannya secara serampangan, dan belakangan ini hal itu membuatku merasa sedang mencari kambing hitam. Detektif tidak seharusnya berpikir seperti itu, kan?

          Maka malam ini kami bertekad untuk mencari sedikit bukti.

          "Ngomong-ngomong," suara Indra lagi, "beneran nih Puntadewa gak bisa turun ke jalan?"

          "Maaf, bro, eyang gak kasih ijin." Aku mengerti maksud pertanyaan Indra. Rencana malam ini adalah ideku, tapi aku sendiri yang merusaknya hanya karena lupa kalau sekarang bulan akan menjadi purnama.

          "Takut banget kamu sama eyangmu."

          "Mau gimana lagi. Aku lebih takut kalau jadi cucu yang gak berbakti."

          "Whoa... dalem."

          "—bray, kok ini..." pemilik kode nama Pinten menyela pembicaraan. Tampaknya terjadi sesuatu.

          Aku buru-buru mendekatkan mic telepon genggamku ke mulut, "Kenapa? Ada apa?" dan berharap dengan jarak itu aku bisa mendengar percakapan kami dengan lebih jelas.

          "Jati, coba tebak Menjangan pergi kemana," kata Indra.

          "Ke mana?"

          "Ke rumahmu."

_______________________________

* Melantun sebuah kidung penjaga malam. Kuat lahir batin dan selamat,terhindar dari penyakit. Terhindar dari segala macam celaka/aral. Segala macammakhluk halus jahat tidak akan mau menganggu. Teluh (santet) tidak ada yangberani mengenai, termasuk orang yang berniat jahat. Guna-guna yang sengajadibuat orang tidak akan mengenai sasaran, bagaikan api disiram air. Pencuri/penjahattidak berani mengincar. Santet/tenung yang sudah terlanjur mengenai badan punsirna (Kidung Mantera Purwajati).

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 02, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PurwajatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang