When I was Your Man

58 7 7
                                    

Mataku mulai memanas melihat kejadian di depanku. Ini sudah berjalan hampir setahun. Sejak dia memutuskan hubungan denganku.

"Bro ! Nglamunin apaan ? Kesambet lu entar,"ucap suara yang muncul tiba-tiba di sebelahku. Aku hanya mengangguk pelan mengiyakan perkataannya tanpa mengalihkan pandanganku.

"Ah elah, bro. Udah lah, masa iya lo mau lama-lama keinget mulu ? Toh dia udah sama yang lain juga,"komentarnya lagi begitu tau siapa yang kuperhatikan.

"Iya. Gue juga lagi proses kok ini. Udah ya, gue cabut duluan,"kataku kemudian menepuk bahunya dan pergi meninggalkannya. Sesampaiku di rumah, aku langsung bergegas menuju kamarku. Kamarku layaknya kamar remaja laki biasanya. Hanya saja beberapa foto, baik yang di pigura maupun di gantung saja yang membedakan. Aku menghempaskan badanku ke atas kasur, sambil menatap langit-langit kamarku, otakku kembali mengulang hubunganku dengan masa laluku.

"Sayaaanggg.. Yuk jalan keluar. Aku bosen nih di rumah,"ucap suara yang tersambung di hpku.

"Nggak bisa. Aku lagi sibuk. Besok-besok ya, tunggu aku nggak sibuk,"jawabku sambil meneliti laporan yang ada di depanku. Aku memang sengaja mengambil pekerjaan sampingan sebagai pemeriksa laporan keuangan, yang memang sesuai dengan bidang yang kujalani di kampus. Hal ini kulakukan untuk sekadar menambah uang jajanku ketika aku jalan bersama kekasihku.

"Yaahh.. Kapan dong kamu nggak sibuk ? Minggu kemarin juga nggak bisa. Kan aku bosen di rumah terus. Masa aku kalah sama Melly. Dia diajakin terus sama pacarnya. Sampe diledekin tuh,"protesnya.

"Aku nggak bisa ! Kamu tau nggak sih ? Aku tuh lagi meriksa laporan ini, dan kamu malah ngerengek ke aku. Kamu tau kan, aku gini juga buat siapa ? Tunggu sampe aku selesai sebentar kenapa sih ?"kataku dengan nada tinggi yang kemudian hanya di jawab oke dan sambungan telepon pun terputus.

Setengah jam kemudian, yang bisa kulakukan hanya membalik-balik kertas laporan dan bayangan kekasihku mulai berputar-putar di otakku. Argh.. Emang kayaknya aku harus pulang kalo gini.

"Pak, maaf, saja pamit pulang dulu. Kepala saya pusing, pak,"ijinku pada atasanku.

"Kok bisa ? Ya sudah, kamu hati-hati ya,"katanya yang hanya kubalas anggukan dan beranjak pergi. Segera ku arahkan sepeda motorku ke arah rumah kekasihku.

"Duh.. Siapa si ? Loh kok ? Kamu ?"kata kekasihku kaget.

"Iya, Sal, maafin aku, ya ? Aku tadi pake nada tinggi,"kataku sambil memegang bahunya. Sally mengangguk dengan bahu bergetar.

"Aku childish ya ?"tanyanya.

"Nggak kok. Aku aja yang nggak ngertiin kamu. Udah jangan nangis,"kataku lagi sambil mengusap air matanya.

"Maafin aku ya ? Bukan gitu maksudku. Aku cuma mau kamu ngerti. Kan kamu tau, selama ini aku kerja juga buat kita seneng-seneng. Aku cuma mau mandiri. Nggak mau ngebebanin mereka aja,"jelasku setenang mungkin.

"Tapi aku juga mau jalan..."

"Iya, kita jalan. Mau jalan sekarang ?"tanyaku yang langsung mendapat anggukan semangat dari Sally. Dia bergegas menuju kamarnya dengan riang.

Selama ini, aku selalu cuek dengan siapa saja Sally berteman. Karena memang aku bukan tipe pengekang. Sampai suatu ketika, Sally mengenalkanku pada Aldi. Aku masih ingat cerita-cerita tentang Aldi yang selalu menemani Sally kala aku tidak bisa menemaninya. Membantunya mengerjakan tugas, kala aku tak bisa membantunya. Dan satu yang kulewatkan. Sejak itulah, aku merasa Sally jauh dariku. Aldi mulai mengambil posisiku perlahan. Mulai dari menemaninya mencari buku, bahkan hingga shopping.

Aku mulai merasa aneh. Karena sebagai lelaki, akupun juga bisa mendeteksi, mana cowok yang memang benar-benar teman, dan mana juga yang berkedok teman. Seringkali aku mengatakan agar Sally tidak terlalu dekat dengannya. Dan sesering itu pula lah aku berseteru dengannya. Aku merasa, Sally terlalu membelanya.

"Sal, aku bisa minta tolong ?"tanyaku saat kita sedang bersantai di taman dekat rumahnya.

"Ya boleh dongg.. Buat kamu apa sih yang nggak ?"

"Bisa tolong jauhi Aldi ?"

"Kok bahas itu lagi sih ?"tanyanya dengan nada tinggi. Beruntung saat ini tamannya sedang tidak rame.

"Sal, dengerin aku. Aku juga cowok. Aku tau, mana yang beneran temen dan mana yang suka sama temen. Ngertiin posisiku,"kataku tenang. Bukan. Tapi berusaha tenang. Karena Sally adalah tipe yang bila dikerasi, maka dia akan semakin jadi.

"Ngertiin posisi kamu ? Sementara aku nggak ada yang nemenin ? Butuh bantuan nggak ada yang bantu ? Gitu maksudmu ? Iya ?"

"Bukan gitu, Sal. Aku cuma berusaha mertahanin hubungan kita."

"Hubungan kita ? Kamu yang udah ngrusak semuanya ! Kamu yang nggak pernah punya waktu buat aku. Kamu yang selalu ngorbanin jadwal ngdate kita. Bahkan dulu kamu juga masih nyempetin waktu buat jalan di tanggal jadian kita. Sekarang mana ? Bahkan kemarin monthversary pun kamu nggak inget. Kamu cuma sekadar bales chatku,"balasnya dengan nafas terengah. Sally seperti mengeluarkan apa yang dia tahan selama ini.

"Kamu kan tau sendiri, Sal. Aku juga nggak mau ngebebani orang tuaku. Aku juga mau mandiri dari sekarang. Cuma ini caranya, Sal. Ini yang bisa kulakuin."

"Buat apa ? Buat apa ? Jelasin ke aku ? Memang aku pernah nuntut sesuatu ke kamu ? Pernah aku minta jajanin ke kamu ini itu ? Aku terima kamu apa adanya. Aku cuma minta waktu kamu. Aku juga iri sama Melly, Alisa dan yang lainnya. Pacar mereka juga kerja. Tapi masih sempat kasih waktu buat sekedar jalan." Kali ini Sally sudah menangis.

Ya Tuhan. Bukan ini yang kumau. Aku cuma pengen dia jauhin Aldi. Bukan dia menangis seperti ini. Yang bisa kulakukan hanya menariknya ke dalam pelukanku.

"Maafin aku, sayang. Aku bakalan berusaha buat ngasih waktuku ke kamu. Aku janji."

"Aku nggak butuh janji. Aku butuh bukti. Dan aku nggak perlu maafmu. Percuma kalo kamu minta maaf, tapi akhirnya kamu ulangin juga. Buat apa ?"

Sejak itu, hampir setiap hari aku mulai meluangkan waktuku. Yang berarti, aku memang harus benar-benar fokus saat mengerjakan laporan di kantor. Hal mudah sebenarnya, karena tugasku hanya mengecek laporan keuangan perusahaan tersebut. Tapi akan menjadi hal yang sulit, apabila banyak terjadi selisih, atau malah tidak cocok dengan buku akuntingnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Kulirik hp yang berada di sebelahku. Banyak missed call dari Sally. Astaga ! Aku kan menjanjikannya dinner hari ini. Segera ku telepon balik Sally.

"Halo.. Sally sayang ?"

"...."

"Maaf.. aku beneran nggak bisa hari ini. Ini aku masih harus ngecekin laporannya. Aku belum bisa janjiin dalam waktu dekat. Tapi kuusahain besok aku luangin waktu buat kamu....." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Sally sudah mematikan teleponnya.

Keesokkan harinya, saat aku menjemputnya ketika hendak berangkat ke kampus, aku melihat sepeda motor yang tidak ku kenal. Mungkin saja teman adik atau kakak Sally.

"Sally.."kataku memanggilnya. Tapi yang kudapatkan malah Aldi gang duduk di ruang tamu, dan bergegas ke arahku behitu ia menolehkan kepalanya. Dan dalam sekejap, tulang belakangku segera berbenturan dengan dinginnya lantai.

"Lo. Udah. Bikin. Sally. Nangis. Semalem. Jadi. Sebaiknya. Lo. Jauhin. Sally !"katanya sambil meninju perutku di sela perkataanya.

"Aldi ! Stop !"teriak seseorang yang terasa samar di telingaku. Dan kemudian, kegelapan mulai merenggutku.

Dan bisa kalian duga setelahnya, Sally memutuskan hubungan denganku. Kini, aku hanya bisa merenungkan semuanya. Yang kucari selama ini pun, sia-sia untuk saat ini.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang