BAB 1
Aku, Tuan Kematian
"Kamu tahu apa kesalahanmu?"
"Persetan! Lepaskan aku! Aku tidak pernah punya masalah sama kamu, kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini! Psiko!"
"Tidak punya kesalahan? Ya, mungkin memang kita sebelumnya belum pernah bertemu, hanya saja aku sudah tahu banyak tentangmu."
Mereka berdua berdialog dalam kegelapan. Seorang pria bersuara berat. Perawakannya tak terlihat. Hanya suaranya saja yang terdengar. Lalu, lawan bicaranya, seorang perempuan yang terdengar meronta ingin dilepaskan. Tapi, apa masalah mereka sebenarnya?
"Finarsih? Ya, namamu Finarsih, bukan? Seorang mucikari kelas kakap. Mendapatkan banyak keuntungan mengatas namakan cinta? Iya, aku tahu itu!"
"Iya, lalu apa masalahnya? Kalau kamu mau, aku bisa sediakan pekerja seks buatmu! Tidak perlu berkelakuan psiko seperti ini! Lepaskan aku!"
"Tidak! Sayangnya aku bukan manusia rendahan seperti apa yang baru saja kamu ucapkan. Dan kamu tahu sekarang, apa kesalahanmu?"
Finarsih tidak menjawab pertanyaan dari pria itu. Dia diam untuk sejenak, menebak-nebak seseorang yang ada di hadapannya, namun tak terlihat.
"Tuan Kematian?" lirih Finarsih.
"Kesalahanmu adalah, mendapatkan keuntungan dari menjual cinta. Seorang mucikari. Aku tidak punya masalah denganmu, tapi banyak korbanmu yang bermasalah dengan itu!"
"Apa benar kamu Tuan Kematian?" Finarsih mulai panik mengucap nama seorang buronan yang sudah selama tiga tahun ini masuk ke dalam daftar pencarian polisi. Seorang pembunuh berantai yang di setiap aksinya bertindak tanpa meninggalkan jejak. Hanya ada sebuah amplop merah jambu yang disebutnya pesan kematian...
Pria yang dipanggil Tuan Kematian itu terdengar tertawa pelan, sebelum akhirnya lampu kecil berwarna kuning menyala tepat di atas pembaringan Finarsih. Iya, Finarsih dalam keadaan terbaring. Kedua tangan Finarsih terikat di antara besi-besi ranjang, begitu juga dengan kedua kakinya.
Mata Finarsih seperti terkejut mendapatkan binar cahaya itu. Sebelumnya dia tidak melihat apapun di sekelilingnya, namun sekarang ini perlahan-lahan pandangannya mampu memperjelas semuanya.
Seprai ranjang yang kotor, berbau amis dan anyir. Ruangan yang terlihat tak terawat. Banyak sarang laba-laba di setiap sudutnya. Dan... tengkorak-tengkorak manusia berserakan di sekitarnya.
Melihat itu semua, ketakutan Finarsih yang sebelumnya bisa dikatakan hanya seujung jari, kini menjalar dan merambat ke seluruh tubuhnya. Tubuhnya meronta, membuat ranjang yang ditidurinya seolah menjerit ikut panik. Tak kalah dengan itu, mulutnya pun menjerit, sekuat tenggorokkan berteriak meminta tolong.
"TOLOOONG...!!! TOLOOONG...!!!" detik itu pun Finarsih mulai melibatkan air mata atas ketakutannya.
"Sssttt... kamu tidak perlu berteriak seperti itu, Finarsih. Bukankah ada aku di sini? Kamu tidak sendiri, apa yang kamu takutkan?"
"Apa yang kamu mau dari aku? Aku mohon, lepaskan aku dari tempat ini! Aku mohon..." Finarsih memohon, dengan derai air mata membasahi pipinya.
"Kenapa baru sekarang memohon? Bukankah beberapa waktu sebelumnya aku pernah mengirimkan pesan kematian kepadamu? Aku membungkusnya dengan rapi. Dengan amplop berwarna merah jambu. Lambang cinta bagi sebagian orang. Tapi apa yang kamu lakukan setelah itu? Kamu mengabaikan pesan itu!"
Setelah itu, mereka tidak berbicara lagi. Finarsih tahu kesalahannya. Dia mengabaikan amplop berwarna merah jambu berisi pesan kematian itu. Ini memang cara Tuan Kematian melakukan aksinya. Memberikan teka-teki kepada calon korban, dan memberi pilihan. Antara dibunuh, atau membunuh? Pilihan itu terserah kepada calon korban itu sendiri.