Aku tidak pernah suka pindah ke sini.
Aspal jalan yang tidak rata karena terlalu banyak pecahan batu kali dan bahu jalan yang tak ada trotoarnya membuatku muak tiap kali pulang-pergi dari rumah ke sekolah.
Ya, aku pulang-pergi ke sekolah jalan kaki.
Mama-papa pasti sudah gila saat mengirimku pindah ke daerah sub-urban antah berantah ini. Seumur hidupku yang dua belas tahun aku tidak pernah, tidak pernah, sekalipun berjalan kaki ke sekolah.
Ya, TIDAK PERNAH.
Mobil pribadi dengan supir, atau metro itu lebih terdengar seperti aku yang berangkat dan pulang sekolah, daripada berjalan kaki. Tapi apa mau dikata, dulu aku bersekolah di sekolah elit anak-anak kaya di pusat kota, sementara sekarang, sekolahku hanya sebuah sekolah swasta lokal milik pengembang perumahan yang jaraknya hanya tujuh kali menginjak rumput tetangga, tak sampai sepuluh menit sampai, tidak ada alasan untuk terlambat.
Kecuali kau tinggal di bagian paling belakang perumahan dan ada saja pihak-pihak yang sangat butuh berangkat ke sekolah sambil sarapan melindas kaki murid lain dengan ban becak dan klakson mur besinya yang memekakkan telinga,
seperti Diena,
"Minggir woi! Orang kota kampungan! Jalan aja ga becus!"
Anak ketua rukun warga sekaligus mandor utama perusahaan pengembang perumahan tempat Aku tinggal sekarang. Kalimatnya hampir selalu sama setiap kali becaknya yang mewah melewatiku. Aku yakin dia sengaja menyuruh si abang beca untuk membawa becanya agak menepi ke pedestrian untuk apapun hal buruk yang dia niatkan padaku hanya karena aku pindahan dari ibukota.
Aku tidak pernah meladeni Diena, tapi toh Nona besar itu selalu punya cara untuk membuatku terlambat.
Jbreeesk
Dengan menarik jatuh hingga sobek tas kain ke empat yang ibu buatkan untukku misalnya, atau melindas sepatuku seperti yang ku bilang tadi, membuat jari-jariku nyeri hingga harus jalan terseok-seok mengejar gerbang sekolah yang nyaris tertutup atau menghabiskan waktu sepuluh menit berusaha memunguti isi tasku dan memperbaiki robekannya dengan stapler.
Uh.
Aku benci kamarku. Langit-langitnya dihiasi pola-pola air bocoran hujan yang untungnta tak pernah sampai menetesi kasur tempat tidurku. Nyaris tiap dua bulan sekali ayah harus mengecat ulang langit-langit itu, lebih parah lagi saat musim hujan. Malam belum begitu larut, ibu baru saja menyelesaikan do'a setelah sholat Isya dan menyuapi adik-adikku dengan bubur kentang jagung agar segera kenyang dan cepat tidur. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam, seharusnya aku dan adik-adikku sudah tidur di kamar masing-masing, tapi langit-langit itu tetap saja membuatku berpikir, menebak-nebak bentuk apa yang berusaha alam tunjukkan lewat langit-langit kamarku. Aku berpikir begitu keras dan penuh konsentrasi, sampai suasana terasa begitu hening dan tenang.
Lalu anjing itu menggonggong.
Mengagetkan dan membuyarkan lamunanku pada langit-langit kamarku.
Gonggongan yang berisik, dan terdengar begitu galak, seperti seolah-olah anjing itu berusaha mengusir sesuatu.
Lalu suara anjing yang menyalak itu terdengar makin dekat, makin dekat, sampai akhirnya suara anjing menggonggong yang tengah menggonggongi teras rumahku itu berhenti menggonggong.
Terdengar suara kelinting aneh menggema di telingaku kemudian. Kelinting orgel yang memainkan melodi lullaby.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vivid Dream
Ngẫu nhiênA collections of weird dream fragments, she happened to witness on some particular nights...