Ia tak pernah punya keinginan besar seperti sekarang.
Seorang perempuan muda dengan surai hitam kecokelatan itu menghembuskan napasnya perlahan, lantas kedua maniknya menatap jauh menembus jendela besar itu, memerhatikan dengan enggan setiap tetes air hujan yang jatuh. Tidak, hujan itu sama sekali tidak mewakili perasaannya saat ini. Ia tangguh, perempuan ini tangguh, sungguh. Tidak, bukan juga karena perempuan ini merasa apa yang dilakukannya sebuah kesalahan karena sesungguhannya ia amat menyukai makhluk lembut itu. Ia tidak ragu.
"Ini hanya terlihat bukan aku."
Kali ini perempuan dengan setelan kemeja putih berkerah rendah itu, mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, lalu mengubah posisinya menyamping, membentuk huruf r kecil. Kepalanya penuh dengan pemikiran apa yang baru saja ia lakukan dan nalarnya yang terus-terusan menolak. Ia hidup sendiri karena ia ingin sendiri. Ia tidak menikah, asal kau tahu saja semua laki-laki di dunia ini bejat semua, otaknya tumpul, napsunya besar. Ia senang begini, ia senang hidupnya sendirian, ia senang akan apartemennya yang indah, ia senang akan dapurnya yang minimalis, ia senang akan kesuksesan tendernya untuk bulan depan, tetapi semua kesenangannya terasa kurang, ketika ia bertemu seorang teman pada hari Rabu, tiga minggu lalu.
**
"Ditemukan kemarin. Tak ada yang tahu siapa yang menaruhnya di sana. Kasihan bukan? Padahal ia seperti surga." seorang teman bernama Annie menatapnya, memunculkan senyum iba seraya memasukkan tangannya ke baju serba putih itu perlahan.
"Ya, kasihan..."
Entah ada apa, mulai hari itu perempuan muda ini selalu berkunjung kesana. Macam-macam alasannya. Sakit perut lalu minta periksa dokter lalu pergi ke tempat Annie ditugaskan, obat maag habis minta resep ke dokter lalu pergi ke tempat Annie ditugaskan, berbaik hati membawakan makan siang ke tempat Annie ditugaskan, hingga dua minggu kemudian datang tanpa alasan.
"Hatimu tercantol padanya bukan?" hari itu Annie bertanya padanya.
"Hah?"
"Aku tahu. Kau pergi ke sini karena hatimu tertambat oleh senyumannya, kan?" kali ini Annie menunjukan senyum simpulnya.
"Kau ini bicara apa, aku kemarikan untuk bertemu denganmu-makan siang bersama, kan? Hahaha." antara ingin tak ingin, perempuan muda ini mengeluarkan alasan.
Hatinya belum jujur saat itu. Tekadnya juga belum bulat seperti sekarang. Ia hanya tidak tahu, bagaimana bisa menariknya makhluk itu, bagaimana tawanya, senyumannya, tangannya ketika Annie menyentuhnya, walaupun ia hanya bisa melihatnya dari balik kaca besar yang tembus pandang. Perempuan muda ini sadar tak sadar, melamunkan bagaimana lembutnya kulit kapas bila kelak disentuhnya. Ah, ia tidak tahu harus bagaimana.
Esoknya, ia datang lagi kesana. Menghampiri Annie dengan keranjang putih berisi spicy beef di tangan kirinya. Kaget ketika Annie langsung menarik keranjangnya, lalu menyeretnya masuk ke ruang yang sebelumnya hanya bisa ia lihat dari balik kaca. Annie membawanya. Boks dan selang teratur di tempatnya.
"Annie! Aku tidak boleh masuk kesini."
"Biarlah, tidak ada orang. Dokter pada makan semua, tidak ada yang melihat. Kemari..." Annie terus menyeretnya.
Tangan perempuan muda itu dingin. Ia tahu Annie akan melakukan apa.
"Ini... yang kau pandangi setiap hari. Sentuhlah." Annie seperti mengangkat sebuah benda ringan dari boks dihadapannya.
"Annie... Tidak, mungkin kau salah sangka... Aku," Tapi Annie keburu mendekatkan makhluk itu ke arahnya.
"Sentuhlah." Annie menganggukkan kepalanya.
Entah dorongan apa, tetapi perempuan itu sedikit menggerakkan tangannya. Maniknya menatap halus apa yang tangannya capai. Ah coba kau lihat, matanya terpejam, tetapi sedetik kemudian ia menguap. Tangannya bergerak, mengepalkan jari-jarinya yang kecil dan merah. Perempuan muda itu mendaratkan telunjuknya perlahan, Ah, lembut seperti yang ia kira. Seperti surga, mirip yang Annie bilang. Ia sampai tak tahu harus menjelaskannya bagaimana.
"Prosesnya memang sulit, tapi aku bisa membantu mengurusnya jika kau mau. Kau ingin ia denganmu bukan? Kau ingin dekat dengannya bukan?"
Dan Annie melakukannya. Melakukan yang ia maksud dengan bantu. Tuhan, perempuan ini yang selalu sendiri hidupnya. Besarnya sendiri di sebuah rumah asuh tua, kecilnya sendiri, dewasanya sendiri, pernah dikhianati, lalu kembali sendiri. Nah Tuhan, bisakah kau juga membantunya saat ini seperti Annie yang juga membantunya?
**
Perempuan ini tak pernah tahu, tapi Tuhan itu baik ternyata. Tuhan memberikan apa yang ia inginkan, karena hari ini perempuan muda itu, Alisa namanya, akan datang lagi ke sana dan tahu ketika pulang ia tidak akan lagi sendirian. Seorang bayi perempuan berambut sejumput itu kini ada dalam dekapannya, juga tertulis dalam noktah kertas atas namanya. Tak ragu-ragu lagi ia sentuh sekarang.