S e c r e t
B l u e
L e t t e r s
.
.
[bagian pertama]
.
.Aku menatap lamat-lamat ketigabelas sahabatku yang sedang tersenyum lebar, tepat di hadapanku. Kota Jakarta masih panas seperti biasanya, membuat keringatku terus bercucuran, namun bukan hanya hawa panas saja yang membuatku mengekskresikan garam-garam begitu banyak, perasaan gugup telah melanda sejak aku mendapat kabar bahwa teman-temanku berhasil mencapai apa yang mereka ingin. Dan aku masih diam di tempat yang sama sejak lulus.
"Selamat, ya, kalian. Gue seneng banget! Ga nyangka temen-temen yang resek kayak kalian bisa masuk universitas impian kalian. Jerman, ya, Paul?" Aku sekonyong-konyong langsung menghambur ke pelukan mereka, terharu.
"Besok gue sama Aya dan Haifa berangkat ke Jerman. Sasqia pindah ke Jepang sekalian lanjutin studinya dan si Lintang sama Aver entah kenapa bisa ngekor. Ilham, Arfian sama Rifdah bakal ke Nederland. Fay dan Anna berhasil lulus tes di Rusia. Nita dan Ran harus daftar ulang ke Brawijaya lusa, tinggal lo yang masih tinggal, Jess. Gue, kita, gabisa ninggalin lo gitu aja." Raut wajah Paul yang murung kini bisa kubaca apa penyebabnya.
Mungkin Paul memang sosok yang paling dewasa di antara mereka. Paling paham, perasaan satu dengan lainnya. Lelaki dengan tinggi menjulang itu kini membuatku benar-benar ingin menangis begitu saja. Namun, tidak. Setidaknya bukan di sini tempat yang tepat untuk menunjukkan sisi lemahku.
"Paul, gak ada yang ninggalin siapa-siapa. Kita masih saling berteman bukan? Gak ada perpisahan. Dan kegagalan gue dalam tes kemarin bukan akhir dari segala-galanya, ini cuma awal untuk gue bangkit dan meraih apa yang gue mau."
"Bukan gitu, kita janji sukses sama-sama. Sedangkan--"
Aku tertawa lebar mendengar penuturan Paul. "Lo kira gue gabakal sukses? Lihat ya, nanti gue buktiin ke kalian semua." Aku mencibir ke arah mereka semua sambil tertawa pelan, namun tidak ada satu pun di antara mereka yang mengaggap hal itu adalah sebuah lelucon. Tatapan mereka serius, memang seserius topik yang sedang dibahas.
Seketika suasana menjadi hening. Aku maju satu langkah menghadap mereka, menyejajarkan pandanganku pada Paul. "Oke, gue gak bercanda, kalian nggak percaya gue bakal sukses? Suatu saat gue pasti jadi atlit lari yang hebat."
Rifdah, si gadis mungil yang sedari tadi diam saja mulai angkat bicara. "Nggak gi--" Dan saat itu pula aku memotong kalimatnya.
"Maka dari itu, jangan ragukan gue, kalian berhak memilih jalan atas mimpi-mimpi. Meskipun kita berada di jalan yang berbeda kalian ingat kan mimpi kita selalu satu?" jelasku pada mereka.
Sasqia yang berdiri paling dekat denganku tersenyum. "Jadi manusia yang bermanfaat bagi sekitarnya. Mimpi kita terdengar mulia sekali ya." Gadis itu tertawa geli. Mungkin itu adalah salah satu kehebatannya, Sasqia mampu mengubah suasana menjadi lebih tenang.
"Tapi serius, gue selalu berpegang teguh sama mimpi itu. Kalian harus janji sama gue, tepatin mimpi itu. Dan gue bakal berusaha mengejar kalian semua, mungkin aja suatu saat kita bisa ketemu di Ceko. Kota yang selalu digadang-gadang sama lo, Ver," aku melirik ke arah Aver, "tapi tetep aja gue maunya ke pegunungan Alpen."
"Tetep aja gue nggak--" ucapan Paul terpotong kala Arfi dan Ran berbicara bersamaan.
"Percaya sama Jessita, Paul," ujar mereka meyakinkan.
"Lo tahu dia hebat," lanjut Arfi.
"Wuuu diem lo, Paul. Biarin gue fangirlingan, tunggu sebentar," Sasqia berdehem, "mimpi lo memang setinggi langit, Je! Gue suka gaya lo!" jerit Sasqia sambil secara tidak sengaja memuncratkan jus jambu ke wajah Ilham dari mulutnya."Gue ikut lo ke pegunungan Alpen!"
"Apeng lo, Sas. Hih," balas Aya.
"Lo minum kayak kucing gue, Sas!" Ilham mendengus, menjitak kepala Sasqia.
"Gamau ke Ceko, nih?" ujar Aver malas.
"Gue mau ke Ceko kok, Ver," balas Ran ikutan malas.
"Gue mau makan mi goreng aja," sahut Nita.
"Aver juga mau!!"
"Diem lu, Per." Sekarang giliran Aver yang mendapat jitakan dari Ilham.
"Permisi, dari tadi gue kayaknya dikacangin?" Lintang yang katanya mirip Pevita itu akhirnya buka suara yang akhirnya mengundang tawa teman yang lain.
Haifa, Anna dan Fay menyahut, "Emang lo doang apa, Tang?" Mereka kini kutemukan sudah duduk di pojok kafe sambil memakan es krim.
"Heh lo gak ngajak gue mesen es krim! Curang!" Lintang akhirnya kabur menghampiri mereka bertiga diiringi suara sorakan teman-teman yang lain.
Aku tersenyum lebar, menatap wajah-wajah temanku untuk yang terakhir kali sebelum mereka kembali berjuang pada mimpi-mimpinya. Dan pada mimpi-mimpi yang kugantungkan terlalu tinggi, aku masih tiada berhenti berharap. Aku masih percaya pada suatu hal, bahwa mimpi dan harapan tak pernah berputus.
Aku akan menjadi atlit lari yang hebat.
Awalnya aku memang percaya mimpi dan harapan itu memang tak pernah berputus hingga sebuah kejadian benar-benar membuatku hilang harap. Saat teman-temanku telah pergi menggapai apa yang mereka impikan, aku justru kehilangan. Kehilangan mimpi karena sebuah kejadian naas. Kejadian naas yang benar-benar meluluhlantakkan segalanya. Bukan hanya kecatan fisik yang kuderita, namun hingga kecacatan mental yang terangkai menjadi rangkaian mimpi buruk, hingga terbesit pertanyaan di otakku ...
... untuk apa aku hidup?
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Blue Letters [AHAWFest]
Short StoryJessita selalu datang ke kafe yang sama, duduk di tempat yang sama, memesan minuman yang sama pula. Sesering apa pun ia melangkahkan kakinya menuju kafe, sesering itu pula ia mendapatkan selembar note misterius berwarna biru yang menjadi penghibur k...