L D R

1.4K 66 17
                                    

Irene memandang Devan dengan tatapan penuh arti, mereka tidak saling bicara, hanya saling menatap dan menumpahkan air mata.

Perlahan, Devan menggenggam tangan Irene dengan lembut. Irene membalas genggaman itu, erat, sangat erat. Seperti tidak ingin melepaskan satu sama lain. Namun, takdir berkata lain, bahwa mereka harus berpisah.

Devan menarik tubuh mungil Irene kedalam dekapannya, ingin rasanya terus seperti ini. Namun, Devan harus meninggalkan Irene, ia harus melanjutkan kuliah di Jerman, ia harus menggapai cita-citanya disana.

Devan mengurai dekapannya, ia menatap Irene dengan mata sendunya.

"Gue mau lo percaya, gue disana buat belajar. Gue bakal jaga hati ini, dan tetep buat lo. Bukan buat yang lain. Lo harus percaya itu." Irene mengangguk, ia masih tak sanggup untuk mengeluarkan kata-kata, ia hanya takut jika air matanya kembali berjatuhan.

"Tunggu sampe gue balik kesini ya, gue berangkat." Devan mengecup dahi Irene beberapa detik, lalu ia pergi meninggalkan Irene.

Irene memandang kepergian Devan, kekasihnya selama dua tahun ini. Kini semuanya takkan sama, tidak ada lagi Devan yang selalu menjemputnya, tidak ada lagi Devan yang selalu membuat dirinya senang, tidak ada lagi Devan yang selalu datang kerumah hanya untuk memberikan makanan, tidak ada lagi Devan yang selalu membuat dirinya tertawa. Tak ada lagi bahu untuk dirinya bersandar.

Bagi Irene, Devan adalah segalanya. Devan bagaikan sosok Kakak yang selalu menjaga adiknya, bagaikan sosok ayah yang selalu memperhatikannya, bagaikan sosok ibu yang selalu menyayanginya.

Hanya mempunyai Devan pun Irene merasa cukup, Devan sudah mewakili semuanya, Devan mampu menggantikam segalanya. Orangtua Irene sudah meninggal akibat kecelakaan lima tahun yang lalu, dan sekarang ia dibiayai oleh bibinya yang berada di Australia, sedangkan ia bersekolah di Jakarta.

••

Irene membuka kunci apartemennya, ia merasa sangat lelah hari ini. Apalagi sejak kepergian Devan, hidupnya sangat hampa sekarang. Ia duduk dan menyalakan tv, hpnya bergetar tanda pesan masuk.

Aunty Sarah : uangnya udah aunty kirim ya, pergunakan dengan baik, lancar kuliahnya, kalo ada apa-apa hubungi aunty aja.

Sudah menjadi tradisi, setiap awal bulan pasti Irene mendapatkan uang untuk kehidupannya sehari-hari.

Tiba-tiba saja Irene memikirkan Devan, sudah seminggu ini mereka tidak berkomunikasi. Mereka sama-sama sibuk. Dan sebuah ide muncul diotak Irene untuk menghubungi Devan, sambil melepas rasa rindunya.

Ia membuka aplikasi skype dan langsung menelpon Devan, tak lama wajah Devan muncul dilayar.

"Hello sayang." Sapa Devan dari jauh sana. Irene hanya tersenyum, bahkan meneteskan air mata bahagia karena bisa melihat wajah tampannya Devan lagi.

"Gue kangen banget sama lo."

"Gue juga, Irene sayang."

"Lo kemana aja sih? Jarang hubungin gue."

"Gue 'kan sibuk sayang, ternyata disini jadwalnya lebih padat dari yang gue pikir."

"Sialan so' sibuk."

"Emang kenyataannya. Lo juga kemana aja baru hubungin gue sekarang?"

"Gue cuma takut ganggu lo, nyet."

"Astagfirulloh, kamu kok gitu ya sekarang, kaya tai."

Irene terkekeh, ia rindu masa-masa seperti ini.

"Ih ada yang seneng dibilang tai."

"Ih anjir, lo apaan sih!"

Devan tertawa disebrang sana, "Kangen gue nggak?"

LDR [1/1 End]Where stories live. Discover now