Ting...
Aku mengalihkan pandanganku ke arah pintu masuk cafe, seorang pria berambut coklat gelap, agak acak-acakan namun tidak mengurangi kadar ketampanan yang dimilikinya, memasuki cafe dan berjalan ke arahku. Wajahnya kusut, setelah menarik kursi didepanku ia langsung membenamkan wajahnya di atas lipatan tangannya.
"Udah gue bilangin jangan kesana, dasar cowok keras kepala!" Omelku padanya. Ia sedikit mendongak untuk melihat wajahku dengan tatapan kesalnya.
"Bukannya dikasih semangat lu malah makin mojokin gua. Dasar temen ga berprikepertemanan!" Sungutnya.
"Jadi, gimana ceritanya sih jadi begini?"
"Gua yakin lu udah tau gimana, Na"
"Gue cuma tau kalo lo dateng ke pestanya Karin dan menurut gue disana juga pasti ada Senna"
"Huh...senna! Aarrggghh" ia menarik kasar rambutnya.
"Jangan bilang lo nembak dia disana?!" Setelah kupikir kalimatku ini bukan pertanyaan tapi pernyataan.
"Yaps! Dan bodohnya gua ga tau kalo..kalo Senna..Senna.."
"Udah punya tunangan?" Aku menebak kata selanjutnya dan...
"Lu emang dukun, Na"
"Hah? Serius? Tebakan gue bener?!" Aku tidak percaya kalau Senna cewek yang sudah hampir dua bulan ini dekat dengan Bagas, pria didepanku ini sudah punya tunangan. Bagas hanya mengangguk mengiyakan ketidakpercayaanku.
Aku kembali meminum jus melon pesananku, Bagas masih saja memasang wajah murungnya. Aku sudah sangat lama mengenal Bagas, kira-kira sejak TK. Ya, sejak saat itu kami berteman, sampai saat ini, saat usia kami melewati kepala tiga, kami saling berbagi cerita. Tidak ada rahasia diantara kami kecuali hal yang sangat privasi. Aku sering dibuatnya khawatir dengan ulahnya. Sebagai seorang cowok, ia termasuk cowok yang ceroboh, dulu saat masih dibangku sekolah ia dilabeli dengan nama troublemaker, tengil, jahil, ceroboh, dan pintar. Untuk hal pintar, aku sendiri heran kenapa cowok senakal dia bisa mendapat juara kelas bahkan juara umum. Padahal frekuensi belajarnya tidak lebih rajin dariku.
"Na, gua harus apa?" Keluhnya, menarik gelas jus melonku kehadapannya dan langsung menyeruputnya hingga habis.
"Ya mana gue tau Gas. Lo kan udah lama kenalan sama dia, masa lo ga ga tau kalo doi punya tunangan. Kan keliatan kali bedanya single sama yang ga"
"Dia ga pernah bilang Na. Lagian dia keliatan single tuh. Ga semua cewek keliatan kalo udah double Na. Buktinya elu" perkataan Bagas sedikit membuatku terdiam.
Bagas benar, tidak semua perempuan yang sudah memiliki pasangan terlihat sudah memiliki pasangan. Contohnya aku. Aku tersenyum miris.
"E..eh, so..sorry Na. Gua ga maksud--"
"It's ok Gas, itu semua kenyataan pahit yang harus gue terima"
"Yaah...kok jadi ikutan galau sih Na. Kan ada gua disini. Anytime for my best forever" Bagas memang sahabat terbaik bahkan disaat ia sedang sedih pun ia tetap bisa tersenyum untukku.
"Thank a lot Bagas, so...sekarang yang jadi masalah lo apa?"
"Kakek Na. Kakek minta gua untuk menikah secepatnya. Kalo gua ga nemuin calon dalam waktu 3 bulan. Perusahaan gua bakal dialihkan ke paman Richard. Gua ga mau Na, ga rela" bibir Bagas melengkung kebawah, jangan salah. Bagas bukanlah pria cengeng, ia hanya akan berani menangis ria didepanku, layaknya balita. Tapi saat bersama orang lain, aku pun dapat dibuatnya jatuh cinta dengan sikap dewasanya.
"3 bulan itu waktu yang lama Bagas. Banyak kok cewek yang mau sama lo"
"Tapi siapa Na? 3 bulan emang waktu yang lama tapi kalo untuk nyari jodoh, itu waktu yang singkat Na" sepotong roti lolos masuk kedalam kerongkongan Bagas. Lagi. Itu roti pesananku.