Chapter 2

42K 1.5K 42
                                    


***

Lucy menggeliat dingin karena udara AC yang menyapu punggung polosnya. Dengan perlahan Lucy membuka matanya dalam keadaan gelap dan hanya di sinari bulan yang menyelusup dari jendela kaca besar kamar Janson.

Lucy mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, lalu Lucy tersenyum malu. Dia ingat bagaimana Janson menyetubuhinya dengan begitu panas dan menggairahkan. Dia ingat dimana wajah tampan Janson yang begitu dingin berubah menggelap terhalang kabut nafsu yang baru pertama kali dia lihat. Dia ingat setiap gesekan kulitnya bersentuhan dan tercampur keringat lembab di antara mereka berdua.

Janson begitu bernafsu tapi juga lembut karena mengingat Lucy masih perawan dan percintaan mereka adalah pertama kalinya.

Lucy membalikan tubuhnya melihat Janson yang tertidur pulas. Wajah tampan terkena sinar rembulan yang membuatnya begitu tampan. Laki-laki ini miliknya seorang.

Dengan perlahan tidak berniat mengganggu, Lucy bangkit dari tidurnya menyebabkan selimut di dada melorot hingga pinggang menampilkan tubuh polos berlekuk itu.

Lucy tercengang saat sinar bulan menyinari dadanya yang penuh tanda merah sedikit kebiruan. Tanda itu begitu banyak, namun saat di tekan oleh jari ruam merah kebiruan itu tidak sakit sama sekali. Beda dengan tanda merah yang sering dia temui di pipinya saat Janson menamparnya, pasti akan terasa sakit dan perih saat di tekan.

Lucy melepas nafasnya lega, Janson sama sekali tidak menyakitinya malam ini.

Saat Lucy ingin kembali membaring kan tubuhnya, tenggorokannya gatal karena kekeringan air. Dia bingung apakah harus turun mencari segelas air di rumah Janson. Apa itu sopan atau tidak. Apa Janson akan marah saat Lucy dengan berani masuk ke dalam dapurnya?

Namun rasa haus itu menyiksa Lucy, hampir tiap malam Lucy harus terbangun dan mencari air minum untuknya. Kalau tidak minum, Lucy tidak akan bisa tidur kembali.

Dengan gugup Lucy turun dari ranjang Janson. Lantai kayu yang begitu dingin sangat menyengat di telapak kaki polosnya. Lucy sedikit bergidik, hawa dingin dan gelapnya rumah memberi kesan menyeramkan.

Dengan perlahan dia mencari baju miliknya dan memakai celana dalam yang terlempar jauh di lantai. Penerangan kamar sangat terbatas hingga yang Lucy temukan hanya kaos hitam Janson.

Sedikit takut tapi terpaksa Lucy memakai kaos hitam itu karena rasa hausnya sudah mengeluh. Kaos itu polos dan berlengan pendek. Tentu ukurannya kebesaran untuk Lucy, belum lagi batasnya hampir tidak menutupi celana dalam hitam Lucy.

Lucy mengikat rambutnya asal dan di selipkan memakai karet yang dia temukan di dekat nakas. Dengan perlahan dan tidak menimbulkan suara, Lucy keluar dari kamar Janson.

Rumah itu begitu gelap, untung banyak dinding yang terbuat dari kaca hingga sinar bulan lagi-lagi menjadi penerangan yang terbatas untuknya.

Lucy menuruni tangga dengan pelan-pelan, lalu dia menemukan saklar lampu. Lucy bernafas lega sambil langsung menghidupkan saklar. Lampu kuning pun langsung menyinari seluruh lantai dasar. Mulai dari pintu masuk, ruang tamu sampai ke ujung lorong yang dia yakini adalah dapur.

Lucy berjalan mengendap-ngendap takut Janson akan bangun dan merasa terganggu yang berakibat menamparnya. Apapun yang Lucy takuti adalah tamparan Janson yang begitu menyakitkan.

Mungkin Janson pernah mencengkram dagunya hingga biru atau memegang erat pergelangan tangannya sampai biru keunguan, tapi itu tidak sebanding dengan tamparan keras Janson.

Entah mengapa Lucy selalu merasa tamparan Janson lah yang bisa melukai fisik dan hatinya. Rasa perih di pipi dan sudut bibirnya tercampur dengan nyeri hati yang ketakutan.

MYSTERIOUS BOYFRIEND (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang