JEJAK YANG MASIH MEMBEKAS

148 4 1
                                    

Sepintas terlihat bocah kecil termenung. Tak ada ekspresi menyenangkan di tengah teman-teman sebayanya yang sedang asyik bermain. Seragam merah putih yang dikenakannya adalah lambang negara Indonesia yang tak pernah memandang perbedaan; baik sosial, agama, ras, bahkan apapun itu tidak memandang pada golongan tertentu. Tapi apa yang dirasakan oleh perempuan kecil itu sungguhlah berbeda. Siapakah yang telah membentuknya untuk mencintai kesendirian?

Seorang lelaki kecil mendekati dirinya. Ia adalah Rhet, teman baik di sekolah maupun di rumah. Duduk di sebelahnya, menghampiri Manda yang cukup membuat lelaki kecil itu selalu ingin menemaninya.

"Ini es, kamu mau?" tawarnya sambil menyodorkan bungkusan plastik yang memang sengaja dibawanya untuk Manda.

Manda hanya menggeleng-gelengkan kepala. Sorot matanya masih tetap sama, terlihat lesu tanpa sedikitpun gairah. Agak membingungkan, namun lelaki kecil itu tetap memaksanya untuk mau menerima.

"Ini udah dibawa dulu, masa aku harus minum dua-duanya, Nda? Nanti kalau perutku kembung, kamu mau tanggung jawab?" Masih berusaha untuk menawarkan, Rhet memberikan es itu pada Manda.

Tangan perempuan kecil itu tak lagi menolak. Dengan tersenyum, ia menerima pemberian Rhet. Baru beberapa sedotan saja es itu diminumnya, sebuah bola tepat mengenai es yang baru saja ia rasakan, hingga membuat sebagian dari seragamnya basah. Merasakan dingin yang menembus seragamnya. Lelaki kecil itupun segera membantu Manda membuang sisa es batu dari atas roknya.

"Sory ya anak pelacur, nggak sengaja nih bolaku menghampirimu," ucap Seno sekenanya dengan tawa, yang datang menghampiri mereka untuk mengambil kembali bola miliknya tanpa permintaan maaf bersama dengan ketiga temannya.

"Eh, Sen, jangan ngomong sembarangan dong. Manda saja nggak pernah menghina kamu kok," bela Rhet sengit mendengar ucapan seorang lelaki bertubuh tambun, yang tak seharusnya terucap dari bibirnya.

"Waow ... pahlawan Manda mencoba untuk membela tuan putrinya." Serentak diikuti dengan tawa temannya, Seno kembali mengejek kedua anak itu.

Seketika kedua mata perempuan itu mulai berkaca-kaca, menahan air matanya yang masih coba untuk dibendungnya, mendengar betapa ia merasa benar-benar direndahkan. Langkahnya pun berlari menuju kelas, meninggalkan mereka yang masih tertawa di lapangan sekolah.

Dadanya terasa sesak. Nafasnya memburu. Dan seketika itu juga air matanya meluap deras. Hal yang telah mencoreng mukanya, harus ia tahan selalu di dalam hari-harinya. Malang ... mungkin hanya kata itu yang bisa terucap, ketika telinga mendengar suatu peristiwa yang merasa telah menghinakan dirinya, saat berada di tengah-tengah kehidupan dan sebagian dari sesamanya tidak menerima kehadirannya.

******
Waktu terlihat menunjukkan pukul tujuh pagi. "Ternyata mimpi!" pikir Manda yang masih merasakan sesak dadanya dan nafas yang masih juga terasa terengah-engah.

Diam terduduk di atas tempat tidur dengan selimut yang masih melekat menutupi separuh badannya ke bawah. Hampir setiap malam ia menemui mimpi itu terus di dalam tidurnya. Kepahitan seakan hendak meracuni dengan membawa kembali pikirannya menapaki jejak masa silam. Tanpa diingatkan pun, Manda masih terbayang akan kisah itu. Kisah dimana dirinya masih duduk di kelas enam.

Masih dengan posisi merenung akan sebuah mimpi yang baru saja ia rasakan, Manda kembali memutar kisah lama yang membawanya harus berurusan dengan pihak sekolah. Saat ia berlari menuju ke dalam kelas, matanya menangkap perkelahian yang dilakukan oleh Rhet dengan Seno. Dibantu dengan kawan-kawannya yang lain, membuat pertarungan tak imbang dan membuat sahabatnya terdesak.

Saat itu Rhet yang mendengar dan melihat kepergian Manda menjadi marah. Tak lagi disadarinya bahwa Seno adalah anak seorang Kepala Sekolah. Tangannya dirematkan dan segera menghajar tepat mengenai wajah Seno. Mendapati lelaki bertubuh tambun itu terjatuh, sontak yang lain mengepung dan menghajar Rhet yang hanya seorang diri.

Keributan itu mulai mengundang perhatian dan membuat para guru keluar dari ruangannya. Lantas dipanggilnyalah kelima murid itu yang masih terlihat berantakan, dan segera dibawa oleh para guru masuk ke ruang Kepala Sekolah.

"Saya memang memukul duluan Pak, karena Seno sudah menghina Manda!" bantah Rhet membela diri, yang merasa selalu dipojokkan oleh karena perkelahian itu.

"Benar begitu Seno?" tanya kepala sekolah yang juga bapak dari Seno.

"Iii ... iya Pak," jawab Seno jujur dengan kepala tertunduk malu.

"Rian, kamu panggil Manda sekarang!" Perintahnya pada salah satu teman Seno yang turut berada di ruangan.

Kepala Sekolah tampaknya geram dengan ulah anaknya sendiri. Sedari tadi ia terus memandangi anaknya dengan mata melotot. Terlintas dalam benaknya, bahwa Seno sekalipun yang nota bene adalah putranya, bukan berarti mendapatkan hak istimewa ketika berada di lingkungan sekolah.

"Benarkah Manda bahwa Seno sudah menghinamu di lapangan tadi?" tanya Kepala Sekolah memastikan saat itu juga, ketika mendapati kedatangan Manda bersama Rian.

Manda melihat sekelilingnya menatap satu persatu anak-anak lelaki itu dengan seksama dan juga dengan perasaan takut. Dengan mata yang masih terlihat sembab, dinantikannya jawaban itu sendiri keluar dari mulut gadis kecil itu. Kembali Kepala Sekolahpun mengulang pertanyaan yang sama.

Manda hanya mengangguk. Mulutnya terasa berat untuk berucap. Lidahnya terasa bergetar untuk berkata-kata. Namun, kepastian yang tak lagi dapat disangkali, telah membuat Kepala Sekolah bertambah geram. Dengan memerintahkan keempat anak itu membersihkan seluruh wc di sekolah adalah hukuman yang sengaja diberikan, supaya membuat jera para murid yang suka membuat ulah di sekolah.

Suatu kisah yang telah membawanya pada peristiwa lampau, membuat Manda kembali menitikkan air mata. Kisah yang teramat buruk, baginya--yang ia rasakan sebelumnya bahwa semuanya itu sudah tenggelam di dalam kehidupannya yang sekarang. Delapan tahun sudah ia meninggalkan kampung halamannya, namun kenyataan yang terjadi belakangan mimpi itu kerap menghantui.

Semenjak lulus dari SMA ia memang memilih untuk hidup di luar kota, tepatnya kota Jakarta. Sebuah jantung ibukota yang memberikan rangkaian kehidupan maha sempurna; tentunya dengan segala persaingan dan perhitungan yang matang.

Selain bekerja, ia juga meneruskan kuliah di salah satu universitas terbesar di Ibukota. Tak ada yang pernah mengerti dengan latar belakangnya. Kebenciannya terlahir sebagai anak pelacur, kini telah memisahkan hubungan yang terikat. Dan sekejap saja melupakan air susu ibu yang dahulu telah ia kecap.

Untuk yang membaca kisah ini, jika ada kesempatan untuk meluangkan waktunya, di mohon dengan sangat untuk memberikan kritik dan sarannya.

Terimakasih

MANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang