MATA YANG TAK MENDUGA

70 2 0
                                    

"Woy ... Manda! Hari ini ada acara nggak?"

"Ah ... gila lo, ya, ngagetin aja! Nggak ada, memangnya kenapa?" jawabnya ketus sembari meneruskan makannya kembali.

Lelaki kurus, tinggi, dan berkulit putih, Alex namanya. Seorang pria bergaya maskulin. Cukup dikenal juga oleh kalangan kampus. Tak sedikit wanita menggandrungi dirinya. Untuk ukuran seorang pria, cukup dingin menanggapi wanita yang mengharapkan cintanya, atau memang hanya ada satu nama saja yang memang ia inginkan, yaitu, Manda. Hingga, membuat lelaki itu kerap tak menggubris ajakan dari setiap wanita yang ingin berkencan dengan dirinya.

"Nggak apa-apa kok, gue cuma nanya aja," godanya sambil tersenyum, yang mengambil duduk berhadapan untuk bisa bertatap mata pada sosok gadis yang dikagetkannya. "Mas, pesen makanan yang sama dengan yang di makan Manda, ya."

"Apaan sih lo, ikut-ikutan aja senengnya!" Gerutunya dengan nada tidak terima.

"Ah ... biasa aja kali! Menu di kantin ini yang enak, ya, itu." tepis Alex menahan malu sambil menuding ke arah hidangan Manda. "Oh iya, gue mau ngajak lo nanti malam jalan. Mau ya, Nda." Mencoba sedikit membujuk dan juga sedikit memaksa.

"Hello, guys ... kok makan nggak pake ngajak gue sih?" Sela Dio yang muncul tiba-tiba dan langsung menyela duduk, memotong pembicaraan mereka.

"Sory ya, gue tinggal dulu semua. Hari ini gue masuk kerja siang," pamit Manda yang segera bangkit dari duduknya, "Mas, makanan saya dibayar sama pria tampan ini." Dengan melambaikan tangan, segera meninggalkan kedua pria yang baru saja duduk menemaninya.

Alex dibuatnya bengong. Ia merasa belum mendapat respon akan ajakannya, dan baru merasakan beberapa menit saja sudah ditinggalkan pergi dengan menyisakan bon atas makanan Manda. Kekesalannya ditumpahkan pada Dio, karena telah dianggapnya sudah merusak ketenangan mereka berdua tadi.

Manda menuju sebuah kafe Hardrock, tempat dimana ia bekerja. Menaiki bus kota yang sesak dan padat. Mengucurkan keringat dan bau badan dari para penumpang yang sudah lama garing di dalam bus kota. Diiringi alunan musik dari seorang pengamen jalanan, terdengar lantang menggema; sebelum kenaikan Manda di atas bus tersebut, hadirnya pengamen itu memang terlebih dahulu ada.

Sebuah lagu dari Dewa bertajuk Kangen, kembali mengingatkan Manda pada kampung halaman. Pikirannya mulai melayang-layang, merangkaikan masa silam. Lagu yang kerap dilantunkan oleh temannya, saat ia sedang duduk berdua di tepi sungai.

"Kamu suka, ya, dengan lagu itu?" tanya Manda waktu itu sambil bermain air dengan kakinya.

"Iya, dan aku bermimpi bahwa suatu saat, aku akan menjadi besar dan ternama seperti Ahmad Dhani."

Gayanya yang menarik perhatian. Bocah lelaki yang menemani Manda di tepi sungai, berdiri sambil mengangkatkan tangan menjulang ke atas langit. Manda tersenyum-senyum sendiri, manakala mengingat masa-masa itu. Masa, di mana kerinduan itu hendak membawanya pulang. Namun, sesaat saja mengingat, kembali memasung keinginannya dan berganti benci yang menikam-nikam selalu di kedalaman hati, untuknya lagi mengajak berlari dari kenyataan pahit yang ia alami di masa lalu.

Di mana ia berada, setiap orang di sana yang bertatap mata dengannya, mengenal dirinya sebagai anak seorang pelacur. Manda tak menyukai sebutan itu. Terasa menjijikkan dan membuncah amarah di dalam dadanya bergejolak.

"Sekian dan terima kasih atas kesempatan dan waktu yang diberikan. Lagu ini adalah lagu yang memang sengaja kunyanyikan untuk seseorang yang hilang, yang kini dalam pencarianku di Jakarta." Ucap pengamen itu yang seketika membuyarkan lamunan Manda.

"Rhet?" pikir Manda selintas dengan memperhatikan tajam ke arah pengamen itu.

Wajahnya buru-buru ia palingkan, seakan berpura-pura tak memperhatikan. Bergeser perlahan menuju balkon depan, ketika lelaki itu mengulurkan suatu benda dari botol air mineral yang dipotong--tempat untuk menadah uang receh. Kesempatan baginya untuk dapat turun di saat bus hendak menaiki penumpang tak disia-siakan.

Ada perasaan sedikit lega sambil matanya tak luput dari bus yang ia tumpangi hingga menghilang dari pandangan. Meski kini harus melanjutkan tujuannya kembali, namun masih ada beberapa pertanyaan dalam pikiran yang mengusik kembali ketenangannya. Tertundanya waktu demi menghindari seseorang yang memang sudah ia kenali sedari kecil, tak selaras oleh kejadian semalam dan juga pertemuan tak terduganya di siang ini, hingga adrenalinnya terpancing untuk mengungkap sesuatu yang menurutnya terasa ganjil.

"Aneh ... Kenapa juga bisa pas ketemu ma dia. Apa mimpi itu pertanda bakal ketemu dengan Rhet?" pikirnya masih dengan mimik heran.

Walau masih tersimpan beribu bahkan berjuta pertanyaan yang mengganggu pikiran, Manda masih harus tetap melanjutkan perjalanan. Sebuah bus melintasi halte, tempat di mana Manda menunggu. Langkahnya dengan cepat menaiki bus tersebut, agar tak tertinggal dan mengejar keterlambatan waktu yang sudah dirasanya terbuang dengan percuma.

Kisah sewaktu kecil, di mana Manda masih teringat akan hal itu. Sebuah garis kenangan yang ia lewati, bahwasannya dulu di dalam kesendiriannya, Rhetlah yang selalu ada disamping menemaninya. Memutar kembali secara perlahan. Memori kisah itu yang masih terukir dalam pikiran, telah mengajaknya kembali untuk melangkah pada masa silam.

"Kamu nggak perlu sedih jika kamu dikatakan sebagai anak pelacur. Kamu tetaplah diri kamu. Setidaknya kamu bangga memiliki Ibu yang masih mau berjuang akan hidupmu, Manda," ucap Rhet kala itu yang mencoba menyenangkan hatinya, saat masih berada di tepian sungai yang mengalir.

"Aku nggak akan biarin kamu dihina, karena aku sudah menganggap bahwa Ibumu berarti ia Ibuku juga. Aku sendiri tak pernah melihat sosok Ibuku, Manda. Ia meninggal ketika melahirkan aku, begitu kata bapakku," imbuhnya tersenyum menghibur Manda.

Manda tersenyum ... Ia tersenyum kala mengingat ucapan itu. Sesuatu yang selalu membuat keberadaan hatinya kembali nyaman saat itu, ketika Rhet berada disampingnya dan selalu ada untuknya.

Gimana dengan kelanjutan cerita ini? Masih buat penasaran, atau membosankan?

Setidaknya kejujuran dari pembacalah yang penulis harapkan, supaya ada perbaikan demi perbaikan di dalam cerita ini ....

Akhir kata, tetep semangat untuk melanjutkan

MANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang