Malam semakin larut dan hujan tidak kunjung reda. Dio masih bertahan di dalam konter hp miliknya. Gila saja, dia tidak mungkin pulang menembus hujan. Dio lupa membawa mantelnya tadi.
"Gak ada yang butuh pulsa apa malem - malem kayak gini," gumam Dio, dia melirik keadaan sekitarnya yang sudah semakin sepi sebelum kembali fokus pada game yang dia mainkan di hpnya.
Nyaris sepuluh menit telah berlalu, Dio mengabaikan suara derap langkah yang tiba - tiba berhenti di depan konternya. Orang berteduh sepertinya, Dio enggan bahkan hanya untuk mengangkat wajahnya.
Erangan kesal terdengar dari mulut Dio saat dia kalah bermain. Dio mendongak, pandangannya jatuh pada seorang lelaki muda yang berteduh di depan konternya. Mata Dio menyipit, jantungnya berdetak makin kencang. Dia hanya melihat sosok itu dari belakang tapi dia yakin kalau dirinya tidak mungkin salah. Serta merta Dio berdiri dari kursinya, berjalan keluar konternya menghampiri lelaki itu. Tangan Dio terangkat, ada sedikit keraguan yang menelusup dalam dirinya, dia takut salah orang. Tapi rasa yakinnya lebih besar dan dia memantapkan diri menepuk pundak lelaki di hadapannya.
"Zinan?"
Lelaki itu menoleh, tersentak kaget oleh tepukan Dio dan lebih kaget saat melihat tampang Dio.
"Bang?" gumam lelaki itu -- Zinan.
"Lo ngapain?" pertanyaan Dio tersendat, dia menarik tangan Zinan, mengajaknya masuk ke dalam konternya.
"Sini Nan."
Zinan hanya menurut, duduk di atas kursi, berhadapan dengan Dio.
"Sehat Nan?"
Zinan tersenyum, "Ya ginilah bang, kayak yang abang liat."
Dio menghela nafas, mengamati lamat - lamat adik kandungnya yang sudah lebih dari setahun meninggalkan rumah. Zinan terlihat baik, jeans kecoklatan, kemeja hijau dan sepatu. Dari penampilannya dia terlihat hidup dengan baik dan terawat.
"Lo udah makan?"
"Udah bang."
"Mau makan lagi? Atau minum?"
"Gak bang, gak usah. Abang sehat? Keluarga sehat semua?"
Dio mengangguk, "Kak Anna udah punya anak sekarang, lo bahkan gak pernah liat keponakan lo."
Senyum canggung menghiasi wajah Zinan, tatapan matanya menyiratkan kata 'maaf'.
"Lo anteng banget sekarang," goda Dio sambil tertawa, mencoba mencairkan suasana.
"Dari dulu udah anteng kali bang," sahut Zinan sambil melengos.
Hati Dio terasa hangat, gaya bicara Zinan kembali seperti Zinan yang dia kenal dulu.
"Tinggal dimana lo sekarang?"
"Adalah, ntar gue kasih alamatnya."
"Nan serius."
"Apaan bang?"
"Lo gak pengen balik ke rumah?"
Zinan terdiam, matanya menelusuri etalase tempat beberapa ponsel dipajang.
"Bang, minta satu dong dagangan lo."
"Boleh. Tapi lo pulang dulu ke rumah."
"Gak jadi."
"Ambil Nan, lo mau yang mana?" Dio berdiri dari kursinya, menghadap etalase.
"Bercanda bang, gak usah, bisa beli sendiri gue. Adik lo ini bukan gelandangan gak ada kerjaan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Gift
KurzgeschichtenSetelah setahun lebih Zinan keluar dari rumah, akhirnya Dio -- sang kakak -- bertemu dengannya. Tapi apa yang terjadi selanjutnya adalah hal yang tidak pernah Dio duga sebelumnya.