Turis bilang, Seoul adalah kota yang ramah. Pemerintah mereka bilang, Seoul adalah kota yang ramah. Lalu guru TK juga bilang, Seoul adalah kota yang ramah. Tapi Pak Tua yang hidup di gang sempit bilang, Seoul adalah kota yang muram. Karyawan bilang, Seoul adalah kota yang muram. Masih ada lagi, Jeonghan bilang, Seoul adalah kota yang muram.
Sudah dua bulan, ibunya menelponnya setiap hari. Menyuruhnya segera pulang. Tapi seorang pria brengsek justru membuatnya menolak ajakan ibunya pulang, alih-alih terlalu sibuk hingga tak sempat makan, bahkan pulang. Lalu sekarang Jeonghan pulang membawa patahan hatinya. Ia pulang membawa patah hati di dadanya.
Kereta jurusan Incheon berderu. Peron yang semula lenggang, sekarang tampak mulai ramai dengan aktivitas bongkar muat. Mobilitasnya terlalu mengerikan, sana sini berteriak gusar. Semua orang tidak sabaran. Semua orang gusar.
Jeonghan menilik tiketnya yang sudah agak lusuh. Pria itu tidak pernah berniat menyimpan tiketnya di saku. Jadilah ia sedari tadi menggenggam tiketnya hingga lusuh.
Kereta jurusan Incheon malam itu berderu kembali. Kelas ekonomi tampak lenggang. Ada 6 total penumpang dalam gerbong. Semua duduk berjauhan, seolah memiliki urusannya masing-masing. Hanya ada dua lelaki di dalam gerbong. Dirinya, dan seorang lagi berambut cokelat.
Lalu Jeonghan kembali berpikir, ada berapa orang yang patah hati di sini selain dirinya? Satu? Dua? Apa semua orang di sini patah hati? Wanita muram di ujung sana, lalu satu-satunya pria selain dirinya, bisa jadi masinis mereka juga sedang patah hati.
Tadinya ia berniat menghampiri pria itu. Agak aneh rasanya, sesama lelaki duduk berjauhan, sementara mereka berada dalam satu gerbong. Tapi niat itu urung kemudiaan ketika ekor matanya menangkap pria itu tiba-tiba sibuk dengan ponselnya. Lalu ia pun mengeratkan mantelnya, dan memilih sibuk dengan lagunya.
Hujan turun di luar sana. Jeonghan menoleh, melihat kacanya berembun. Ia tersenyum tipis, dunia tahu hatinya sedang biru, lalu malam turut berubah biru.
"Ssst."
Tanpa sadar Jeonghan bersenandung. Kebiasaan kecilnya. Seorang wanita yang tadinya tertidur menegurnya.
"Maaf." Ucapnya malu. Ekor matanya kembali menangkap si pria meliriknya sebentar, lalu sibuk lagi dengan ponselnya.
Jeonghan berdengus. Perjalanan masih panjang, dan jam digital di ponselnya sudah menunjukkan pukul sembilan lebih.
Mendadak laju kereta tersendat, dan segalanya bergoncang. Lampu gerbong berkedip-kedip, mengingatkannya pada serangan hantu. Ia bergidik ngeri, karena sejujurnya ia tak pernah menyukai film horror, apalagi hantu aslinya.
Sial, rutuk Jeonghan. Lampu gerbong benar-benar mati pada akhirnya. Yang ada di otaknya sekarang adalah bagaimana jika tiba-tiba seluruh penumpang di kereta ini berubah menjadi zombie, lalu mengincar otaknya, sedang ia tidak punya senjata apapun untuk melawan. Ia hanya punya sebungkus roti. Mungkin saja roti bisa mengenyangkan perut zombie yang gusar. Tapi lalu ia sadar dari pikiran konyolnya. Tidak ada zombie. Lagi pula, zombie tidak makan roti.
Tak berapa lama kemudian pikirannya melayang pada hantu terowongan yang bisa kapan saja menculiknya, lalu mengubahnya menjadi abdi selamanya. Atau bayangan hitam yang mencuri mimpi indah anak-anak. Atau bisa jadi Sadako keluar dari layar ponselnya. Menyadari itu, Jeonghan buru-buru menyimpan ponselnya di saku. Terlalu takut bilamana Sadako benar-benar keluar dari layar ponsel.
Bulu kuduknya berdiri, dan sekujur tubuhnya meremang. Sungguh, ia tidak mau hidupnya berakhir tragis seperti yang ada dalam bayangannya. Lalu tiba-tiba ia merasakan sentuhan tangan dingin di punggung tangannya. Jeonghan berteriak dan mengambil ancang-ancang lari. Tapi pemilik sentuhan itu buru-buru berdesut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Patchouli
Teen FictionAstaga, Jeonghan sadar betul bahwa pria itu benar-benar menarik. Tadi aroma tubuhnya seperti patchouli, sekarang tawanya terdengar renyah seperti wafer. Lalu apa lagi? "Lucu ya? Orang Incheon sepertimu jauh-jauh ke Seoul untuk sekolah. Sedang aku ya...