Pemanasan?

33 2 0
                                    

"Bagaimana jika kita nonton film The Hunger Games saja" Vania, gadis dengan rambut hitam lembut yang tak pernah ia ikat, memberi usul dengan antusias.

"Tidak, aku lebih suka jika 3D" Robby, pria dengan senyum iblis itu membantah usulan sang kakak sepupunya dengan nada cukup kasar.

Hening~ Tak ada satupun yang berbicara hingga Olif mengatakan bahwa ia akan ke toilet sebentar.

"Baiklah, jadi bagaimana?" Romero sang kakak tertua diantara mereka memulai kembali percakapan yang tadi tertunda.

"Kita nonton film saja" Vania tetap bersikukuh untuk menonton film.

"Masalahnya, film apa?" Robby kembali berbicara dengan nada kasar, ia tak suka jika film yang nanti ditonton tidak seru.

"Bagaimana jika film horor?" Usul Rafi yang sedari tadi hanya diam mendengarkan adik dan kakak sepupunya yang bertengkar.

Semua terdiam.

"Aku setuju" Olif tiba tiba datang dengan senyuman cerah dan suaranya yang ia buat dengan se-imut yang ia bisa.

"Satu setuju" Ujar Romero.

"Aku setuju" Kini Vania yang berbicara.

"Kalau begitu, aku juga setuju" Romero berujar dengan semangat yang menggebu.

"Kini giliran kau bocah" Vania tersenyum miring.

"Baik, aku setuju" Robby menjawab dengan nada dingin dan pergi begitu saja entah kemana.

"Dia marah?" Vania bertanya kepada Romero, sang kakak kandung Robby.

"Entahlah, aku harap tidak" Romero menaikkan bahunya acuh dan menyusul 'adik kesayangannya'.

Yang tersisa disana hanyalah Vania, Rafi, dan juga Olif. Sepertinya mereka sibuk dengan dunianya sendiri.

"Apa perlu aku yang memesan tiketnya?" Rafi bertanya dengan tenang sambil memainkan game kesukaannya.

"Sepertinya begitu" Olif menjawab dengan ragu.

'Perasaan ku tak enak' Batin Vania 'apa yang akan terjadi?'

"Hey kak Vania!!!!" Olif berteriak memanggil nama kakak sepupunya itu dengan suara cempreng miliknya yang tak ada bandingannya dengan siapapun.

"Ada apa?" Jawab Vania santai seakan tak terjadi apa apa.

"Kak Rafi, jelaskan kembali ku mohon. Hayati lelah" Dengan nada lebay plus alay.

"Apa perlu aku yang membeli tiket?" Tanya Rafi kembali.

"Ya, pastikan itu tempat ter-nyaman" Vania menjawab dengan sedikit ancaman dan pergi meninggalkan mereka berdua.

Olif merasa ada yang aneh, tidak biasanya kita sibuk dengan dunia masing masing, walaupun terkadang begitu, ini terasa aneh.

"Olif" Panggilan kelima kalinya dari Rafi sukses membuat Olif tersadar dari lamunan anehnya.

"Apa kau baik baik saja?" Tanya Rafi sambil menyentuh dahi Olif, hanya untuk memastikan saja.

"Aku baik baik saja" Jawaban Olif dengan nada bergetar membuat Rafi mengerutkan keningnya.

"Jangan bohong" Rafi sedikit membentak. "Apa kau juga merasakannya?" Pertanyaan Rafi mengundang Olif yang hampir tak memikirkan apapun itu kembali pada dunianya

"Merasakan apa?" Tanya Olif waswas.

"Sesuatu yang aneh" -Rafi.

Vania mengangguk pelan. "Sudah ku duga. Aku yakin semuanya merasakan hal yang sama, ayo kita bertanya pada mereka" Rafi menggenggam tangan Olif dan berjalan cepat menemui seluruh saudara mereka.

Di perjalanan, entah firasat mereka atau apa, tapi dinding-dinding dirumah mereka bergerak seakan ingin menjepit tubuh mereka.

"Lari lebih cepat Olif" Teriak Rafi saat dinding-dinding itu hampir mengenai tubuh mereka, dengan usaha yang bisa dikatakan sangat anti mainstream, mereka berhasil selamat dari dinding keramat itu.

"Permainan lagi? Apa mereka tak bosan membuat ini semua?" Rafi menggerutu.

"Daripada menyalahkan mereka, lebih baik kita cepat cari keberadaan yang lain" Ucap Vania bijak dan berjalan mencari keberadaan yang lain.

Dengan terpaksa, Rafi mengikuti Vania di belakang.

##########

Disisi lain, tepatnya dikamar Robby terjadi banjir yang airnya tiba tiba datang dengan sendirinya tanpa diundang, membuat kenyamanan dunianya terusik.

Dengan sekuat tenaga, Robby mencoba membuka pintu yang asalnya tidak ia kunci.

Saat nafasnya hampir mencapai batas, ia melirik jendela kamarnya dan tersenyum miring.

Dengan cepat, ia mendekati jendela tersebut dan memecahkannya dengan tangan kosong, bukan hanya satu yang ia pecahkan, tapi 5 jendela kamarnya yang ada disana dengan tangan kosong.

Tak peduli jika nanti tangannya akan terlumuri cairan pekat berwarna merah.

"Hosh hosh...." Robby mencoba menarik nafas dalam-dalam saat semua air tersebut sudah keluar.

"Aku selamat" Lirih nya.

"Maafkan aku teman, tapi untuk pertama kali dalam hidupku aku membenci kamar ini" Monolog nya dan mendobrak pintu kamar dengan tenaga yang tersisa.

Dengan berat hati, Robby berjalan pergi mencari sepupu-sepupunya yang lain.

#########

"Aku tak menyangka akan tersesat" lirih pria yang terjebak di rumahnya sendiri saat menuju kamar adik kesayangannya, siapakah dia? Ya, benar sekali, dia Romero.

'Apa lewat sini?' Batinnya.

"Aaarrrggghhh" Romero berteriak sambil mengacak-acak rambut coklatnya yang baru ia tata kemarin dengan gaya rambut Short Sides Longer Hair With Texture On Top. #panjang amat :3#

PermainanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang