#1

26 2 0
                                    

Seoul, 01 Februari 2016.

12.30 KST.

Pria muda itu kembali mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangannya sambil sesekali mencocokkan jarum jam yang bergerak dengan angka-angka yang tercetak pada selembar tiket pesawat yang baru akan landing satu setengah jam lagi. Ia kembali menyesap milk tea yang masih mengepulkan uap panas dan melahap habis sisa potongan steak di piring, mengisi perutnya yang kosong semenjak pagi.

Ia bahkan tak sempat pulang untuk mengemasi barang dan memutuskan langsung ke bandara, membatalkan seluruh jadwal meeting yang harus di hadiri, memesan tiket pesawat paling cepat dan berakhir di sini, melahap santapan siang sambil menunggu pesawatnya tiba.

30 menit.

60 menit.

90 menit.

120 menit.

Akhirnya, ia bisa lebih tenang saat pesawat mulai take off.

Gadis itu tak akan bisa berlari lagi.

.

.

Frankfurt, 02 Februari 2016.

03.00 AM.

Frankfurt juga sedang memasuki musim dingin, akan tetapi suhu di kota itu terasa jauh lebih hangat dari suhu di Seoul. Orang-orang berlalu lalang tanpa dilapisi jaket tebal. Perjalanan hampir sebelas jam itu membuat jasnya kusut di sana sini saat keluar dari bandara. Ia menghubungi koneksi yang ia miliki untuk memastikan semua berjalan dengan lancar.

Resepsionis Hilton, salah satu hotel mewah di pusat Frankfurt menyambutnya dengan ramah. Dengan mudah Joshua mendapat kartu akses ke kamar Nayeong. Tampaknya, gadis itu tak di sana. Kemanakah ia sepagi ini? Ini baru pukul tiga. Kamarnya temaram karena lampu tak dinyalakan. Jendela besar di sisi ruangan pun dibiarkan begitu saja tanpa ditutupi tirai.

Joshua membuka lemari dan hanya menemukan beberapa helai pakaian di sana. Tsk, dan wanita itu memutuskan untuk lari sejauh ini. Laci meja rias di tengah ruangan pun hanya diisi beberapa berkas pekerjaan.

Joshua lalu berjalan menuju ke arah jendela, ia bisa melihat dengan jelas kerlip-kerlip lampu di bawah sana. Jerman yang sedang tertidur, meski beberapa orang memutuskan untuk tetap terjaga. Matanya menangkap sebuah pot kecil diletakkan di sisi jendela, bunga ajisai biru. Bunga kesukaan Nayeong. Bahkan ketika musim penghujan belum juga tiba. Gadis itu senantiasa membawa ajisai kemanapun ia pergi.

Ia mendengar bunyi dari arah pintu. Seseorang mencoba masuk ke dalam. Dan saat melihat sosok Joshua di dalam ruangan, langkah perempuan itu berhenti. Membeku untuk sepersekian detik di tempatnya sebelum akhirnya menutup kembali pintu dengan tenang. Seakan tidak terjadi apa-apa. Seakan sudah seharusnya Joshua ada di sana. Seakan ia telah mengira-ngira bahwa pria itu akan datang. Atau mungkin, ia hanya terlalu piawai menyembunyikan keterkejutannya di balik sorot mata tajam itu.

Nayeong melempar tasnya ke atas kasur, lalu melepas heels-nya dan tanpa berniat mengganti jas kantorannya dengan pakaian yang lebih nyaman, ia melempar tubuhnya ke atas tempat tidur, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan memejamkan matanya. Mengacuhkan eksistensi pria itu di sana.

Untuk beberapa saat, hanya kesunyian yang melingkupi keduanya. Kedua insan tersebut terlalu keras kepala dan gengsi untuk membuka mulut duluan.

Joshua mengehela napas panjang, merenggangkan ikatan dasi di lehernya dan melepas kancing kemeja bagian atas, memberi akses untuk dirinya sendiri agar ia bisa bernapas lebih leluasa.

"Kau tahu apa persamaanmu dengan ajisai?" Ia membuka suara. Dengan tiba-tiba. Tangannya di letakkan di sisi jendela, dibiarkan menopang bobot tubuhnya. Sorot matanya menatap tajam kepada pot ajisai tak bersalah itu.

AJISAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang