PROLOG

67 14 7
                                    

Kubayangkan udara yang kuhembuskan dari napasku bertiup sampai ke Vineland, negara yang sangat ku kenal tapi belum pernah ku lihat.

Aku hampir tak bisa percaya aku sungguh-sungguh berdiri di balkon ini, memandang langit malam yang begitu akrab------- satu-satunya hal yang tidak asing di sekitarku.

Tidak ada lagi celana jins (digantikan kain sutra hitam menyapu lantai), rambutku dicat (dari coklat gelap menjadi emas mengilat), jam tangan hitam dari plastik sudah diganti dengan gelang bertatahkan batu merah delima.

Aku membayangkan reaksi ibuku jika ia sampai melihatnya. "Ya Tuhan, Julia. Coba lihat dirimu," katanya. "Satu gelang itu harganya lebih dari penghasilanku selama lima tahun."

Tentu saja, aku bukan Julia Johnson yang dulu--- aku orang lain. Dan ini bukan hanya urusan gaun, rambut, atau gelang. Kulirik Markus Ingvaldsson, putra Menteri Kebudayaan Vineland. Ia berdiri disampingku di balkon ini, memandang Samudra Pasifik.

Rambutnya berantakan tertiup angin dan jatuh di wajahnya, lengan tuksedonya sedikit pendek. Kupandang tangannya, tangan indah dengan jemari panjang dan ramping. Di jari tengahanya ia memakai cincin yang berlambangkan bangsawan yang diwariskan turun-temurun.

Satu-satunya benda berharga yang pernah aku muliki adalah sepasang sepatu roda yang kubeli di obralan garasi.

Markus menatapku dan tersenyum, menonjolkan lesung pipi kecil yang menawan di pipi kirinya.

Begitulah ---seluruh diriku seakan lumer kembali. Padahal mestinya tidak begini. Putra-putra petinggi asing mestinya kaku, membosankan, dan sok. Mereka mestinya tidak memiliki lengan kuat dan lesung pipi! Sebab... yah sebab...
Sebab aku mestinya tidak jatuh cinta kepada siapa pun.

Menurut Mom, belum lagi menurut Yahoo Messenger dan semua saluran yang ada di televisi, jatuh cinta adalah apa yang sewajarnya dialami gadis lima belas tahun. Tapi jika kita sibuk belajar demi mempertahankan nilai rata-rata, sambil sekaligus mencari jalan supaya kita dan ibu kita tidak diusir dari rumah, kita tidak bakal punya banyak waktu ekstra untuk memikirkan cowok.

Maka sampai umurku lima belas tahun ini, aku belum pernah punya pacar, belum pernah punya cowok untuk menemani nonton bioskop. Tapi memang itulah yang kuinginkan.

Dan aku masih menginginkannya demikian... iya, kan?

Senyum Markus melebar, lesung pipinya bertambah dalam, dan aku berkedip, lalu mundur selangkah darinya dan mengalihkan pandanganku ke pemandangan dari balkon.

Bisa kulihat lampu-lampu di Palisades, dan hampir tampak olehku gelombang kelam Samudra Pasifik. Sudah berkali-kali aku bermain-main di samudera itu. Aku juga pernah berjogging menyusuri jalut sepeda sepanjang pantai. Pernah pula aku berjemur di pasirnya, mencoba membuat kulitku cokelat rata seluruhnya, tapi tak pernah berhasil.

Di balik pintu Prancis menuju ruang dansa, orang-orang berdansa. Mereka mengenakan tuksedo Armani dan gaun sutra bertatahkan batu permata, mengikuti musik yang dimainkan.

Di udara tercium aroma bunga segar bercampur parfum mahal. Setiap orang begitu santai, begitu tenang. Setiap orang kecuali aku. Bagaimana aku bisa tenang? Aku dalam masalah besar.

Baru beberaa saat yang lalu Markus dan aku berdansa bersama di ruangan itu. Para tamu lain menyingkir dari lantai dansa untuk memperhatikan kami, mengagumi langkah luwes kami. Padahal itupun hanya sandiwara. Dalam kehidupan biasaku akh sama sekali tidak luwes. Aku selalu terbentur loker, tersandung-sandung di pinggitan jalan, dan menumpahkan kopi di bajuku. Tapi tidak malam ini.

Tiba-tiba aku menggigil, walaupun angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku hangat dan lembut.

"Kau kedinginan?" Markus bertanya, beranjak mendekatiku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 06, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The True of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang