Ruangan monoton bercat kelabu terlihat bersih tanpa noda, juga tanpa pigura foto, lukisan, atau hiasan dinding lainnya. Interiornya didesain sesederhana dan serapi mungkin. Hanya ada satu lemari kayu yang terlihat elegan dan kokoh. Satu sofa krem menghadap jendela besar di tengah ruangan dan satu meja tulis beserta kursi beroda, yang mana sedang diduduki seorang eksekutif muda.
Kedua tangannya menyanggu dagu. Matanya lelah, sedari tadi hanya melihat layar laptop yang menampilkan puluhan email wajib dibalas. Dia menghela napas panjang, menatap tumpukan dokumen dengan malas yang perlu tanda tangannya.
Ia lelah sekali. Penampilannya berantakan. Rambutnya acak-acakan, dasi dan jasnya telah dilepas, menyisakan kemeja biru tua yang lengannya digulung asal-asalan. Dia menghela napas panjang--lagi. Lalu beranjak menuju lemari di sebelah kiri. Membuka pintu lemari dan mengambil sebuah album foto.
Album foto itu bersampul merah polos, ukurannya sedang, dan berisi 12 lembar. Mengenang dengan memandangi foto-fotonya bersama keluarga dan teman-teman dekatnya, selalu bisa membuatnya kembali semangat. Teringat kepada alasannya yang mulia, mengapa ia memilih untuk berjuang begitu keras dan meninggalkan segalanya yang begitu berharga di belakang. Sesekali ia mengulas senyum, teringat akan momen-momen yang terabadikan dalam lembar-lembar foto. Ada fotonya bersama keluarganya, ibu, ayah, juga kedua kakak laki-lakinya. Di lembar lain ada fotonya bersama teman-teman sefutsal dan teman-teman sperkuliahan. Di lembar yang kesekian, ada fotonya bersama teman-teman selama di sekolah menengah. Dia tersenyum lebih lebar, melihat potret para sahabat, senyum polos dan bahagia sewaktu remaja. Sang eksekutif muda membalik halaman, dan nampaklah fotonya. Foto seorang gadis remaja berkerudung abu.
Dalam foto itu, sang gadis sedang tersenyum manis. Kedua mata coklat terangnya berbinar memancarkan keceriaan. Pipinya yang kemerahan--terlihat merona--membuatnya semakin manis dan lucu. Sang eksekutif muda nyaris tertawa, untuk kemudian tersadar dan menghela napas--lagi.
Ia tutup album merah itu dan meletakannya kembali di lemari. Ia melangkah menuju depan sofa mengahadap jendela. Berdiri dengan kedua tangan di saku celana. Lamat-lamat mengamati pemandangan yang tersaji. Hamparan langit senja sejauh mata memandang terlihat sepi. Tak ada kepakan sayap burung yang biasa menyambangi. Angin Mendadak ruangan monoton ini terasa dingin. Dingin menusuk sampai ke tulang-tulang, menghujam jantungnya. Rasanya sesak. Hatinya hampa.
***
To be honest, i don't know where is this will going. Ini ditulis di tengah malam sewaktu bosan. Kata teman sih, lumayan, jadilah saya upload setelah sekian minggu mangkir. Akan dilanjut, tapi entah kapan.
Dadah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa
General FictionTega nian orang yang pergi, jauh meninggalkan segalanya di belakang, segalanya yang begitu berarti. Bagaimana bisa? Sementara hatinya masih tertinggal di tempat yang sama.